Tragedi Transportasi Aplikasi: Kota Inklusif [Selesai]

TRANSINDONESIA.CO – Itu perbincangan soal kota.  Bagaimana dengan kawasan permukiman dan perumahan? Sejawat saya di HUD Institute, Dr. Yayat Supriatna, menulis disertasi ihwal komunitas berpagar. Menurutnya, komunitas berpagar takluk dengan aturan pengelola  (estate management) yang mempunyai otoritas mengatur dan memaksa, seperti otoritas “negara”.

Diungkap pula, perusahaan pengembang justru selektif memilih calon pembeli rumah yang akan menjadi “warga negara”-nya, yang tinggi  kepatuhannya  pada “estate regulation/code”.

Dari studi itu, pembangunan perumahan dalam skala apapun,  penting menegakkan stuktur (aturan) dan  kultur (kepatuhan) komunitas.  Misalnya kultur kepedulian sosial  dan sikap toleran, distukturkan sebagai  agenda sosial dan digiatkan komite kawasan.

Penolakan transportasi sistem aplikasi.[Ist]
Penolakan transportasi sistem aplikasi.[Ist]
Masih menurut Yayat Supriatna, ihtiar itu adalah  “kultur yang distrukturkan”, dan  setarikan nafas  pula “struktur yang dikulturkan”. Mirip rekayasa sosial melalui struktur dan aturan.  Pengembang perumahan bisa “memaksa” pembeli rumah mematuhi  “pakta kepatuhan” pada aturan dan menjaga kenyamanan-ketertiban kawasan.

Kembali ke soal kota dengan dua ciri ganda: keteraturan dan kepatuhan.  Untuk menggenapkan kultur kota, otoritas kota  mutlak  menggiatkan keteraturan dan kepatuhan sebagai   kesholehan sosial  komunitas  yang humanis, tertib, dan patuh aturan.

Kesholehan sosial itu dari kawasan, diharap  menyebar ke luar kawasan  dan menyumbang kepatuhan aturan warga pada ruang sosial kota sehingga menjadi kultur kota. Soal ini  penting disemaikan  walaupun  berlipat ganda lebih sulit dari membangun citra fisik kota. Meminjam Yayat Supriatna,   kesholehan sosial itu adalah ikhtiar  membangun “kultur yang distrukturkan”.

Bagi pengembang dan pengelola kawasan perumahan, struktur aturan  yang  bermetamorfosis sebagai kultur kepatuhan warga justru bersifat  fungsional dan juga bernilai ekonomis, karena  mencipratkan citra kemilau perumahan dan gemerlap reputasi brand image sebagai korporat berbintang sebagai pengembang kota baru.  Apalagi dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan terbukanya pasar regional.

Alhasil, lebih beruntung  jika selektif memilih warga/konsumen yang taat yang diikat dan digembleng  dengan “pakta kepatuhan” dari pada  tergerusnya citra kemilau kawasan  dan redupnya kilap reputasi pengembang berbintang.

Kurang lebih, begitu pula dengan kota.  Membangun kota bukan sekadar melengkapkan  bagunan fisik,  fasilitas dan infrasturktur kota yang nyaman dan moderen. Agenda terpenting justru membenihkan keteraturan dan kepatuhan, membangun kultur kota, menciptakan citra dan imej kota.  Sekali lagi, melalui jurus menggiatkan “kultur yang distrukturkan”.

Untuk maksud itu, otoritas kota mesti tangguh dan tabah membangitkan kultur warga   bersamaan dengan ketabahan menegakkan aturan sebagai struktur formal.  Tangguh dan tabah disempurnakan dengan berkeadilan dan inklusif.

Warga akan terinspirasi dan bergiat jika otoritas kota tak hanya memperbanyak struktur (aturan) dari belakang meja, namun  enggan  menjemput  kekuatan  “kultur” partisipatif  warga  dari  lapangan, sudut jalan,  bantaran sungai, pasar pagi, ataupun taman hiburan malam.

Menata sudut kota inklusif yang dilakonkan berbasis komunitas. Setiap jengkal sudut kota ada kontribusi warga. Pendekatan ala “sharing community”  itu tak hanya melalui pungutan pajak atau retribusi, namun ikhwal lain atas fasilitas publik.  Yang  membangkitkan rasa memiliki semisal atas  taman kota, parkir tertata, udara bebas asap rokok, dan sebagainya.

Untuk itu perlu otoritas kota yang tangguh, tabah, berkeadilan dan iklusif  menjemput partisipasi warga. Mengapa? Tangguh tanpa tabah, akan mengemakan kegelisahan dan lempar kemarahan. Tanpa berkeadilan akan goyah. Tanpa inklusif akan mencurigakan.

Di etape inilah, seperti kata Roscoe Pound,  hukum diperlukan sebagai alat rekayasa sosial (law as a tools of social enginerring). Karena hukum hanyalah norma, maka rekayasa hukum membutuhkan kepemimpinan yang kuat, konsisten, dan keteladanan yang otentik. Bukan kepemimpinan “palsu” yang  instruksional.  Jika tidak,  aturan kota menjadi “macan kertas”, yang   diragukan keberlakuannya.

Kepatuhan warga mesti digembleng untuk menjadi warga yang partisipatif dan menjadi warga  “sharing community”. Kepatuhan bukan hanya digembleng kepada ambtenaar kota. Kontribusi warga bukan hanya pajak dan retribusi namun minus partisipasi komunitas.

Itu modal membangun cita rasa warga kota yang inklusif dengan kotanya. Sebaliknya, miskin partisipasi komunitas dan kota meninggalkan inklusifitas, maka semakin terpelihara  keraguan hukum, yang akan memunculkan  skeptisisme sosial alias “kultur EGP”, seakan kota hanya ditata ambtenaar kota tanpa membutuhkan  jutaan “mata kota”.

Kota memerlukan otoritas yang tegas, tanguh, tabah, berkeadilan dan inklusif membenihkan kepatuhan.   Menjaga kota dari kekumuhan kelakuan yang tumpul  ke atas namun tajam ke bawah. Menjadi kota inklusif.[Muhammad Joni – Advokat,  Sekretaris Housing and Urban Development (HUD) Institute,  Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia].

Share