TRANSINDONESIA.CO – Itu perbincangan soal kota. Bagaimana dengan kawasan permukiman dan perumahan? Sejawat saya di HUD Institute, Dr. Yayat Supriatna, menulis disertasi ihwal komunitas berpagar. Menurutnya, komunitas berpagar takluk dengan aturan pengelola (estate management) yang mempunyai otoritas mengatur dan memaksa, seperti otoritas “negara”.
Diungkap pula, perusahaan pengembang justru selektif memilih calon pembeli rumah yang akan menjadi “warga negara”-nya, yang tinggi kepatuhannya pada “estate regulation/code”.
Dari studi itu, pembangunan perumahan dalam skala apapun, penting menegakkan stuktur (aturan) dan kultur (kepatuhan) komunitas. Misalnya kultur kepedulian sosial dan sikap toleran, distukturkan sebagai agenda sosial dan digiatkan komite kawasan.
![Penolakan transportasi sistem aplikasi.[Ist]](http://transindonesia.co/wp-content/uploads/2016/03/transportasi-ilegal.jpg)
Kembali ke soal kota dengan dua ciri ganda: keteraturan dan kepatuhan. Untuk menggenapkan kultur kota, otoritas kota mutlak menggiatkan keteraturan dan kepatuhan sebagai kesholehan sosial komunitas yang humanis, tertib, dan patuh aturan.
Kesholehan sosial itu dari kawasan, diharap menyebar ke luar kawasan dan menyumbang kepatuhan aturan warga pada ruang sosial kota sehingga menjadi kultur kota. Soal ini penting disemaikan walaupun berlipat ganda lebih sulit dari membangun citra fisik kota. Meminjam Yayat Supriatna, kesholehan sosial itu adalah ikhtiar membangun “kultur yang distrukturkan”.
Bagi pengembang dan pengelola kawasan perumahan, struktur aturan yang bermetamorfosis sebagai kultur kepatuhan warga justru bersifat fungsional dan juga bernilai ekonomis, karena mencipratkan citra kemilau perumahan dan gemerlap reputasi brand image sebagai korporat berbintang sebagai pengembang kota baru. Apalagi dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan terbukanya pasar regional.
Alhasil, lebih beruntung jika selektif memilih warga/konsumen yang taat yang diikat dan digembleng dengan “pakta kepatuhan” dari pada tergerusnya citra kemilau kawasan dan redupnya kilap reputasi pengembang berbintang.
Kurang lebih, begitu pula dengan kota. Membangun kota bukan sekadar melengkapkan bagunan fisik, fasilitas dan infrasturktur kota yang nyaman dan moderen. Agenda terpenting justru membenihkan keteraturan dan kepatuhan, membangun kultur kota, menciptakan citra dan imej kota. Sekali lagi, melalui jurus menggiatkan “kultur yang distrukturkan”.
Untuk maksud itu, otoritas kota mesti tangguh dan tabah membangitkan kultur warga bersamaan dengan ketabahan menegakkan aturan sebagai struktur formal. Tangguh dan tabah disempurnakan dengan berkeadilan dan inklusif.
Warga akan terinspirasi dan bergiat jika otoritas kota tak hanya memperbanyak struktur (aturan) dari belakang meja, namun enggan menjemput kekuatan “kultur” partisipatif warga dari lapangan, sudut jalan, bantaran sungai, pasar pagi, ataupun taman hiburan malam.
Menata sudut kota inklusif yang dilakonkan berbasis komunitas. Setiap jengkal sudut kota ada kontribusi warga. Pendekatan ala “sharing community” itu tak hanya melalui pungutan pajak atau retribusi, namun ikhwal lain atas fasilitas publik. Yang membangkitkan rasa memiliki semisal atas taman kota, parkir tertata, udara bebas asap rokok, dan sebagainya.
Untuk itu perlu otoritas kota yang tangguh, tabah, berkeadilan dan iklusif menjemput partisipasi warga. Mengapa? Tangguh tanpa tabah, akan mengemakan kegelisahan dan lempar kemarahan. Tanpa berkeadilan akan goyah. Tanpa inklusif akan mencurigakan.
Di etape inilah, seperti kata Roscoe Pound, hukum diperlukan sebagai alat rekayasa sosial (law as a tools of social enginerring). Karena hukum hanyalah norma, maka rekayasa hukum membutuhkan kepemimpinan yang kuat, konsisten, dan keteladanan yang otentik. Bukan kepemimpinan “palsu” yang instruksional. Jika tidak, aturan kota menjadi “macan kertas”, yang diragukan keberlakuannya.
Kepatuhan warga mesti digembleng untuk menjadi warga yang partisipatif dan menjadi warga “sharing community”. Kepatuhan bukan hanya digembleng kepada ambtenaar kota. Kontribusi warga bukan hanya pajak dan retribusi namun minus partisipasi komunitas.
Itu modal membangun cita rasa warga kota yang inklusif dengan kotanya. Sebaliknya, miskin partisipasi komunitas dan kota meninggalkan inklusifitas, maka semakin terpelihara keraguan hukum, yang akan memunculkan skeptisisme sosial alias “kultur EGP”, seakan kota hanya ditata ambtenaar kota tanpa membutuhkan jutaan “mata kota”.
Kota memerlukan otoritas yang tegas, tanguh, tabah, berkeadilan dan inklusif membenihkan kepatuhan. Menjaga kota dari kekumuhan kelakuan yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Menjadi kota inklusif.[Muhammad Joni – Advokat, Sekretaris Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia].