MKI: Sponsorship Dokter Bukan Penyebab Obat jadi Mahal

TRANSINDONESI.ACO – Kesepakatan legalisasi sponsorship dokter mengatasi dugaan gratifikasi masih menuai kritik, karena dianggap penyebab mahalnya harga obat di Indonesia.  Ramai diwartakan, sponsorship dokter menjadi ajang promosi industri farmasi menjual obat bermerek dengan resep dokter. Benarkah anggapan itu?

“Tidak adil dan tidak proporsional jika sponsorship dokter dianggap menjadi sebab mahalnya harga obat, karena mesti diperiksa secara makro tata niaga obat dan audit hukum kebijakan pemerintah,” demikian Muhammad  Joni Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) kepada Transindonesia.co di Jakarta, Jumat (12/2/2016).

Menurut  Muhammad Joni, dalam audit atas kemahalan harga obat setidaknya ada 3 (tiga) faktor strategis yang mesti dibenahi pemerintah.

Pertama, kebijakan hulu yang menambah pasokan dan penyaluran obat generik, sehingga pasar tidak tergantung pada sediaan obat bermerek saja yang mengakibatkan harga obat mahal.   Persediaan obat generik masih kecil, hanya untuk 12,8  bulan padahal semestinya 18 bulan, apalagi untuk daerah terpencil di Indonesia Timur.

Kedua, sebagai  barang kebutuhan strategis dan terkait hak konstitusional atas pelayanan kesehatan, pemerintah mesti mengubah orientasi  industri farmasi milik pemerintah untuk kepentingan publik bukan komersial.

Tersebab itu, industri farmasi nasional milik badan usaha milik negara (BUMN) jangan berorientasi profit untuk kebutuhan publik di dalam negeri,  sehingga berkontribusi bagi kemahalan obat  yang membebani masyararakat dan  pemerintah dengan skim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ketiga, memberi insentif kepada industri farmasi domestik terutama BUMN dan mengeliminasi monopolisasi obat bermerek  dengan dalih  hak milik intelektual (property rights),  karena kebutuhan obat bukan hanya untuk skim komersial namun juga pelayanan publik  guna melaksanakan kewajiban konstitusional Pemerintah atas pelayanan kesehatan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

“Ketiga faktor makro dan strategis itu mesti dibenahi total dengan visi  revolusi mental, jangan tergopoh dan tidak adil menyebut sponsorship dokter sebagai sebab tunggal mahalnya harga obat. Itu tidak proporsional,” tegas Muhammad Joni,  advokat  yang   aktifis  komisi nasional  pengendalian dampak tembakau itu.

Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Muhammad Joni.[Ist]
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Muhammad Joni.[Ist]
Joni mengulas, “Obat dan alat kesehatan adalah elemen utama dari pelayanan kesehatan, kedua barang  itu yang harus ditata ulang dengan regulasi pemerintah, karena menyangkut hak konstiusional atas pelayanan kesehatan yang  Pasal 28H ayat (1) UUD 1945”.

Lebih dari itu momentum legalisasi sponsorship dokter mestinya dijadikan pemerintah sebagai pintu masuk membenahi total tata niaga dan kebijakan obat dan alat kesehatan.  “MKI mendesak pembenahan regulasi,  termasuk   mewajibkan apoteker  mengganti obat bermerek menjadi obat generik, sehingga perlu audit dan revisi PP Nomor 51 Tahun 2009 yang memanjakan industri farmasi”.

Merujuk Pasal 24 huruf b PP Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian berbunyi: “Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat: (a) …; (b) mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;

Menurut MKI, mestinya  PP Nomor 51  Tahun 2009 itu  tegas  mengatur  apoteker  wajib mengganti obat bermerek dengan obat generik untuk menekan harga obat bermerek, apalagi untuk kepentingan jaminan kesehatan nasional (JKN).   Tidah hanya itu, “MKI mendesak agar pemerintah melakukan review dan audit hukum mendalam atas regulasi kefarmasian”, demikian Muhammad Joni yang didampingi Irwansyah Boteng Wakil Sekretaris MKI.

“Ini saatnya kebijaan dan regulasi berubah, dan MKI segera menulis  surat  kepada Presiden untuk menata ulang  tata niaga obat”, tuntas Muhammad Joni  yang  tercatat  sebagai kuasa hukum Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk permohonan Uji Materil Undang-undang Tenaga Kesehatan di Mahkamah Konstitusi (MK).[Pro]

Share