Jual Beli Keadilan ala Preman
TRANSINDONESIA.CO – Keadilan dapat dipahami dari keadilan sosial, dimana kebijakan, kebijaksanaan dapat dierima dan dirasakan adanya kepastian dan harapan bagi semua orang pada semua golongan tanpa melihat faktor primordial, strata sosial atau berbagai kepentingan.
Keadilan dapat diperoleh dari system-sistem peradilan yang dilandasi pada hukum yang menjadi ikon peradaban dan menjadi sandaran serta kepastian untuk menyelesaikan berbagai konflik secara beradab.
Apa yang telah diatur pada perundang-undangan dan berbagai peraturan lainya menjadi panglima bagi penyelesaian masalah yang dilakukan dengan kesadaran, tanggung jawab dan disiplin. Tatkala diimplementasikan maka aturanlah standarnya.
Apabila menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan baik dengan diskresi, Altrernative Dispute Resolution (ADR), maupun Restorative Justice semua dilakukan atas dasar kebijaksanaan untuk: kemanusiaan, keadilan, kepentingan yang lebih luas (inipun bukan politis, kekuasaan).
Tetapi pada kontek kemanusiaan, keselamatan dan pencegahan bukan untuk kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok, dan untuk edukasi.
Semua itu dapat dipertanggung jawabkan secara administrasi, hukum, sosial dan moral. Fakta dalam implementasinya keadilan milik yang memiliki power, kewenangan, kekuasaan untuk memaksa, menakut-nakuti atau mengancam.
Ada pula yng dilakukan dengan bargaining atau tawar-menawar saling bertukar ancaman atau bagi-bagi keuntungan. Ada pula keadilan atas titipan dan berbagai intervensi maupun adu kekuatan.
Institusi yang lemah dan banyak kecurangan refleksi ketidak profesionalan akan mudah diintervensi karena rapuh dan banyak borok yang dapat dijadikan intervensi atau memperjual belikan keadilan.
Disitulah sarang-sarang preman atau mafia-mafia birokrasi menguasai pasaran keadilan dengan berbagai jurus-jurusnya untuk mengintervensi, mengancam, menakut-nakuti maupun jual beli keadilan.[CDL-04022016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana