Tajuk TransIndonesia: Hukum “Rimba dan Bar Bar” Indonesia
TRANSINDONESIA.CO – Pemberantasan premanisme kerab terdengar dari semua penegak hukum, namun seiring dengan berlalunya aksi premanisme dijalanan maupun di tempat atau lokasi yang kerap terjadi hukum “rimba” kembali terlupakan.
Tetapi begitu terjadi peristiwa “main hakim” sendiri ala premanisme barulah semua sibuk dan bekerja tanpa mau dibilang kecolongan meski faktanya telah jatuh korban jiwa, perusakan fasilitas negara dan lainnya barulah semua tampak sibuk dan turun kelapangan.
“Hukum Bar Bara” yang kerap dilakukan preman sampai saat ini terus terjadi, terakhir peristiwa bentrokan antar Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) antara Pemuda Pancasila (PP) dengan Ikatan Pemuda Karya (IPK) di Kota Medan, Sumatera Utara, sampai jatuh korban tewas dan tak ketinggalan pengerusakan fasilitas umum yang dibangun dengan uang negara ikut hancur.
Padahal, OKP dibangun untuk menyalurkan dan menjadikan para pemuda berkarya dan memiliki aktivitas positif, bukan sebaliknya menjadi wadah tempat berkumpulnya “pergajul” yang membuat keonaran dan ketakutan di masyarakat.
Wadah OKP yang dijadikan tempat premanisme ini memang perlu mendapat perhatian semua pihak, tidak hanya di evaluasi tetapi juga dibubarkan bila lebih banyak nilai negatifnya daripada positifnya.
Tentu saja, untuk membubarkan OKP yang dinilai menjadi rawan tempat berkumpulnya premanisme ini bukanlah hal yang populer, dan dipastikan banyak mendapat tantangan agar OKP-OKP dipertahankan. Enatah apa alasan mempertahankan suatu OKP bila tidak bisa dibina dan mewujudkan pemuda yang diharapkan bangsa dan negara.
Tentu sebaliknya, kita akan menantang pembubaran OKP yang banyak membawa kekaryaan dan aktivitas positif serta kemajuan generasi muda untuk bangsa dan negara.
Sebelum semuanya dilakukan, para aparat berwenang perlu duduk bersama untuk mengevaluasi OKP-OKP yang semakin menjamur di negeri ini. Bila ditilik ke belakang, kebanyakan OKP didirikan untuk kepentingan negara, partai, maupun orang-orang tertentu yang ingin terus berpengaruh dengan massa OKP yang dibuatnya.
Hanya saja, bagaimana membuat OKP agar tidak menjadi wadah premanisme dan tidak pula dibekingi oleh aparat sehingga tidak nekad melakukan tindakan kriminalitas dengan cara-cara sangat diluar kemanusian bahkan adat istiadat bangsa Indonesia.
Selain penegakan hukum yang tegas dan berwibawa, juga diperlukan tangan-tangan terampil, terlatih dan terpenting tidak memanfaatkan OKP sebagai tujuan pribadi atau kelompok dengan menggunakan OKP untuk mencapai tujuannya dengan menghalalkan segala cara.
Bila hal itu tidak dilaksanakan dengan baik, maka OKP yang seyogyaknya menjadi ajang kreativitas bernilai positif menjadi ajang premanisme dan “semau gue”.
Penempatan aparat penegak hukum menjadi terdepan dalam membasmi premanisme ini perlu menempatkan petugas (personil) maupun pemimpin di wilayah tertentu yang rawan ganguan Kamtibmas. Untuk wilayah tertentu yang OKP nya kerap melakukan tindakan premanisme perlu menjadi perhatian khusus dengan menempatkan orang yang tepat dan berani menghadapi premanisme.
Aksi premanisme tidak saja di OKP, pada gerombolan, geng motor sampai geng narkoba yang akhir-akhir ini begitu nekad dan brutal menghajar aparat kepolisian.
Belum lama juga, peristiwa di Berland, Jakarta Timur, yang mengakibatkan seorang anggota tewas dihajar dan di bacok oleh geng narkoba saat melakukan penggerebekan.
Ironisnya, sampai saat ini belum ada evaluasi dan kajian khusus tentang penanganan OKP, geng motor, geng narkoba, atau kelompok-kelompok tertentu yang nyata-nyata meresahkan masyarakat.
Pemerintah yang didalamnya ada aparat penegak hukum dan stakeholder meski tidak ingin dikatakan melakukan pembiaran tetapi sejauh ini tidak melakukan evaluasi mendalam.
Tetapi ya, tindakan tegas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum bila sudah terjadi aksi premanisme.
Sedangkan pada tindakan pencegahan yang memang giat dilakukan seperti kepolisian dengan menggelar operas-operasinya namun tidak juga habis membabat premanisme.
Anehnya, negeri ini semakin dihinggapi “penyakit lupa”, lupa dengan mengedepankan pencegahan daripada penindakan.
Kenapa harus selalu dilakukan sebaliknya, yakni penindakan? Yang telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian material? Kenapa lupa dengan pencegahan agar tidak ada korban jiwa dan lainnya?
Syafruddin [Pemred TransIndonesia.co]