KPK Periksa Tersangka Dirjen Perhubungan Laut
TRANSINDOENSIA.CO – Penyidik Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) akan memeriksa Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Bobby Reynold Mamahit, terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan Pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Tahap III di Sorong tahun anggaran 2011.
“Bobby Reynold Mamahit diperiksa sebagai saksi untuk tersangka DJP (Djoko Pramono),” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Selasa (5/1/2016).
Bobby juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Namun hingga berita ini diturunkan, Bobby belum tampak hadir di gedung KPK.
Selain Bobby, dalam perkara ini KPK juga memanggil Suharmono DP dari pihak swasta, Direktur PT Intero Bumi Nazmawan dan I Nyoman Sujaya sebagai saksi dalam kasus ini.
Bobby menjadi tersangka saat bertugas di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan (BPSDMP) Kemenhub sedangkan Djoko Pramono adalah Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Laut.
Keduanya diduga melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Dalam pengadaan ini, diduga negara dirugikan sekitar Rp40 miliar. Dalam dakwaan mantan General Manajer PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan disebutkan bahwa Budi meminta bantuan Bobby dan Djoko menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dalam proyek tersebut untuk memenangkan PT Hutama Karya dalam proyek tersebut.
Dari peran keduanya, Bobby mendapatkan Rp480 juta sedangkan Djoko Pramono memperoleh Rp620 juta dari total kerugian negara seluruhnya Rp40,193 miliar yang diperoleh dari selisih nilai pekerjaan yang diserahkan kepada subkon (Rp19,462 miliar), kontrak PT Hutama Karya dengan subkontraktor fiktif (Rp10,238 miliar), penggelembungan biaya operasional (Rp7,4 miliar) dan kekurangan volume pekerjaan (Rp3,09 miliar).(Ant/Dod)