Konsesi PT.RRL Pulau Bengkalis “Bom Waktu”

Pulau Bengkalis, Riau.
Pulau Bengkalis, Riau.

TRANSINDONESIA.CO – Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT Rimba Rokan Lestari yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan nomor SK Izin: 262/Kpts-II/1998 Tanggal 27 Februari 1998, seluas 14.875 hektar di Pulau Bengkalis, bagaikan bom waktu yang sewaktu-waktu siap meledak.

Sebab, saat ini sudah berembus kabar tentang patok mematok kawasan perkebunan dan bahkan rumah warga di sejumlah desa di Kecamatan Bantan dan Bengkalis, Kabupaten Bengkalis oleh perusahaan perkebunan PT RRL.

Sementara itu, benih-benih gerakan penolakan dari masyarakat mulai terdengar, di lain pihak sejumlah anggota dewan juga siap membela hak masyarakat.

Seperti disampaikan anggota DPRD Bengkalis Dapil Bengkalis-Bantan, Irmi Syakip Arsala S.Sos.

siang. Menurutnya, secara internal di DPRD Bengkalis juga sudah mulai membahas persoalan tersebut, hanya memang sifatnya belum formal, hanyamembicarakan duduk persoalan dan langkah-langkah yang akan diambill.

“Kita sudah dengar kabar itu, ada yang kita baca lewat media ada pula yang menyampaikan ke kita langsung. Terus terang kita sangat prihatin dengan kondisi ini, kawan-kawan di dewan juga sudah membahasnya, siap bersama masyarakat membela dan memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka,” sebut pria yang akrab disapa Ikip ini.

Ditambahkan politisi PKB ini, kendati begitu pihaknya tetap membutuhkan data-data di lapangan. Seperti apa klaim yang dilakukan oleh PT Rimba Rokan Lestari.

“Kabarnya memang sudah ada sosialisasi ditengah masyarakat tentang penanaman akasia, tapi kita juga tidak tahu seperti apa sosialisasinya. Karena tak mungkin masyarakat kaget ketika ada perusahaan yang mematok lahan mereka, jika mereka tak keberatan,” sebut Ikip lagi.

Ketua KNPI Bengkalis ini juga mengaku menyeselkan terhadap pihak-pihak yang telah memberikan izin kepada perusahaan tersebut.

Kuat dugaan izin yang katanya dikeluarkan oleh Kemenhut tersebut, seperti “ menembak atas kuda”.

Karena diyakini si pemberi izin tidak pernah turun ke lapangan, tidak tahu pasti di mana lokasinya, apakah ada pemukiman atau tidak.

“Ka aneh saja, izin dikeluarkan tahun 1998, sementara masyarakat disana sudah bertempat tingga puluhan tahun sebelum itu. Jelas ini keteledoran pemerintah dan tidak bisa dibiarkan,” sebut Ikip.

Kendati begitu, Ikip menyarankan kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk tidak gegabah dan melakukan upaya-upaya ekstrim untuk menolak rencana perusahaan.

“Saya sarankan bentuk forum atau aliansi apa yang melibatkan seleuruh elemen masyarakat, lalu secara tertulis melaporkan hal ini ke DPRD dan nantinya kita bersama-sama berusaha mencari jalan keluar terbaik, tentang langkah apa yang harus kita lakukan,” sebut Ikip lagi.

Konflik Agraria Seperti pernah diberitakan, sejumlah masyarakat di desa Jangkang dan Bantan Air kaget bukan kepalang, ketika mereka mendapat tahu bahwa sebagian perkampungan mereka diklaim oleh PT Rimba Rokan Lestari,masuk ke dalam konsesi perkembangan penanaman pohon akasia.

Hal itu berdasarkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan nomor SK Izin: 262/Kpts-II/1998 Tanggal 27 Februari 1998, dengan luas area 14.875 ha dengan status izin aktif dan status izin permodalan swasta.

Terkait izin tersebut, dosen STAIN Bengkalis, H Amrizal M.Ag berujar kemungkinan atau potensi konflik agraria sudah berada di depan mata dan akan terjadi di ibu kota Bengkalis, antara PT Rokan Rimba Lestari dengan masyarakat.

Dua kepentingan antara PT Rimba Rokan Lestari yang mengklaim mengantongi IUPHHK-HT seluas 14.875 hektar dengan kepentingan lain yakni kelompok masyarakat yang sudah bertempat tinggal beranak pinak jauh dibawah tahun 1998.

“Dua kepentingan ini akan saling bertubrukan, dan potensi konflik agraria kemungkinan besar akan terjadi di daerah ini. butuh kearifan pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan. Dan pemerintah daerah juga harus bergerak cepat sebelum patok perusahaan semakin dalam tertancap dan sikap penolakan masyarakat menjadi bom waktu yang siap.(Sbr)

Share