Kering?

Kering.
Kering.

TRANSINDONESIA.CO – Tatkala musim kemarau terjadi kekeringan, kesulitan air, gagal panen yang bermakna tiadanya kehidupan. Dalam kehidupan dianalogikan dengan kering maka yang terjadi adalah tiadanya atau minimnya prestasi, apresiasi bahkan kehidupan spiritual yang dangkal dan potensi-potensi konflik untuk meledak akan sangat mudah dipicu.

Dalam karya seni yang kering dapat dipahami tanpa makna, nilai estetis yang dangkal. Tatkala kita analogi dalam birokrasi yang kering maka dapat dilihat dalam pelayanan-pelayanan publik yang sarat berbagai kepentingan.

Kering sebagai simbol ketiadaan jiwa dan kehidupan, tentu kontra produktif. Tiadanya kepekaan dan kepedulian akan kualitas hidup.

Inikah akar munculnya berbagai mafia? Bisa saja demikian, karena kebanggaan dan kecintaan akan pekerjaan bukan pada yang hakiki melainkan pada kebanggaan-kebanggaan semu dan sesaat.

Dlm hidup dan kehidupan diperlukan adanya ‘rasa’ dan adanya pengharaan atas refleksi hidup dan kehidupan itu sendiri.

Hidup ada karena jiwa sebagai bagian hakiki yang menjadi penghidup, jiwa dalam kehidupan bukan semata-mata materi tetap ada suatu spirit untuk berkorban dan kerelaan memberikan jiwa para pelakunya, terutama bagi para pemimpinya.

Dalam birokrasi kering akan berdampak luas dan menimbulkan berbagai pelayanan menyimpang dari apa yang semestinya. Birokrasi yang kering akan mematikan yang dilayaninya?

Bisa saja demikian karena kering akan menjadi momok yang menakutkan karena tanpa jiwa dan menghilangkan keutamaan. (CDL-310715)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share