Membela Kebenaran atau Mati Karena Karma?

ilustrasi
ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO“Tan ono kalanggengan ing ndonya iki kabeh iku bakal rontok soko siji” tidak ada yang abadi di dunia ini, semua bakan jatuh atau hancur satu persatu.

Apapun yang ada dan dijadikan kejumawaan akan sirna dari muka bumi, berganti dengan era baru. Dalam kisah-kisah pewayangan (Bharata Yuda), para satria berguguran di medan laga membela kebenaran dan merekapun ada yang satu persatu mati karena karmanya.

Takdir menentukan cara mereka mengakhiri kehidupan. Beragam jalan memang terjadi namun, pada intinya mereka menjadi kusuma bangsa karena membela kebenaran dan akan terus dikenang sepanjang masa bahkan jiwanya langsung diangkat ke swarga loka.

Lain halnya yang terkena kutukan atas kesalahan, kelalaian, kejumawaan, bahkan karena keserakahannya.

Resi Bisma, Adipati Karna, Gatot Kaca, Bambang Irawan, Abimanyu, Prabu Salya, Begawan Durna mereka beberapa ikon ksatria yang gugur di medan laga, selain sebagai pejuang mereka juga terkena karma atau kutukan yang menentukan takdirnya.

Karena kesetiaan dan ketekunannya arwahnya diperkenankan masuk swargaloka. Demikian halnya keluarga kurawa dan para kerabatnyapun satu persatu tumbang hingga yang terakhir Duryudana, Sengkuni dan lainnya, mereka mati karena kejumawaan dan keserakahan serta sikap-sikap keduniawiaan yang culas dan licik, pengecut dan tukang khianat.

Wayang menjadi analogi, refleksi atau cerminan dari hidup dan kehidupan manusia yang menggambarkan hal yang nyata.

Cerita-cerita wayang semestinya menjadi bagian penjaga moral masyarakat dan pemimpinnya. Banyak pemimpin yang tiba-tiba hobby wayang dan bersedia menanggapi wayang, tapi apa yang dilakukan? Apakah dipahami sesuai dengan tujuan memahami dan mencintai wayang?

Belum tentu mereka tidak peduli dengan filosofinya, yang mereka pentingkan hanyalah prestise saja tanpa mampu bercermin atau merefleksi atas nilai-nilai moral dan analogi kejadian baik karma maupun kutukan-kutukan.(CDL-Jkt220715)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share