Post Power Syndrome “Penyakit Ndoro Setres”

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Setelah tidak menjabat atau tak mempunyai kekuasaan memang sering bagai wayang tanpo gapit. Hidup bagai tiada guna, kekuasaan, dipuji-puji, dilayani, dihormati telah mencandui para ndoro.

Tak heran bila banyak pasca menjadi ndoro kemudian setres, nglemprek, nampak tiada daya. Kaum feodal baru memang gila uang, kedudukan, jabatan, pangkat dan segala sesuatu pendekatanya dengan materi. Mencurahkan hidupnya demi uang, mengganti penghidupanya dengan keduniawian, sehingga tingkat kebahagiaanya bukan pada kemanuasian atau pemanusiaan-manusia lainya.

Pendekatan dan pandangan serta keinginannya adalah terus berada didepan, main telunjuk, menyalah, nyalahkan dan selalu saja ada yang menjadi korban, dikorbankan.

Tatkala semua kembali pada hidup dalam dunia nyata berbaur dengan masyarakatpun akan bagai air di daun talas. Terus saja berteriak, meraung dengan keluhan ketidak beresan.

Segala sesuatunya menjadi bahan perbincangan atau bahasan. Tanpa solusi, tiada kemampuan dan ide baru lagi, memori tercampur aduk dan keluar tak lagi berurutan.

Candu kehidupan (dipuji, diterima, didukung, dihormati, diagungkan, dilayani) memang luar biasa, dari kecil kita sudah dibiasakan, setelah dewasa dan mempunyai power berusaha membiasakan hidup dalam candu itu.

Tatkala semua kembali biasa mulailah penuh geliatan dan sakau. Ketika perjalanan hidup masih panjang maka terus ia mencari, gilalah akan jabatan dan kekuasaan. Tatkala kehidupan sudah pendek menggeliat, mengerang penuh keluhan dan terus menyalahkan sampai kematiamnya datang. (CDL-Jkt210515)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share