TRANSINDONESIA.CO – Maestro suatu gelar penghormatan atas keistimewaan karya-karya yang menjadi suatu ikon keabadian.
Maestro-maestro dunia seni rupa misalnya, mengukir sebuah peradaban yang terus abadi sepanjang masa.
Leonardo Da Vinci dengan “Monalisa, The Last Supper”. Botyceli dengan “Bird of Venus”, Rembrand Van Rijn dengan “The Night Watch “, Michelangelo dengan “Pieta, David, Moses, Mural pada Celing Sixtine Chapel”, Fransisco De Goya dengan “May Day”, Theodore Garigault dengan “Medusa Raft”, Vincent Van Gogh dengan “The Sun Flower, The Irises” dan banyak lagi karya-karya sang maestro anyg mendunia dan terus menginspirasi walau telah ratusan bahkan ribuan tahun silam.
Pertanyaanya, mengapa bisa mendunia? Ini datang tiba-tiba? Tentu saja tidak. Dimana peran pemimpin dan para punggawa negara sangat berperan dalam menduniakan dan mengabadikan sebuah karya.
Tak terlepas peran media yang menjadi bagian dari proses apresiasi dan pengabadian hingga memantulkan nama sang maestro dengan karyanya ke penujuru dunia.
Bagaimana dengan maestro Indonesia? Raden Saleh dengan “Antara Hidup dan Mati, Perkelahian Dengan Singa, Penangkapan Diponegoro”, Affandi dengan “berbagai potret diri, adu ayam”, Basoeki Abdulah dengan ” Joko Tarub, Perkelahian Antasena Dengan Antareja, Ketika Tuhan Murka”, S Soedjojono dengan “Dibalik Kelambu Terbuka, Seko, Kawan-Kawan Revolusi, Cap Gomeh”, Hendra Gunawan dengan “Pengantin Revolusi”, Widayat dengan “Bahtera Nuh”, Dulah dnegan “Persiapan Gerilya, Gadis Kurir Gerilya” dan masih banyak lagi untuk bias disebt sebgai maestro.
Seniman-seniman Indonesia tidak kalah akan ide, kreatifitas, bahkan ekspresi para maestro dunia.
Kesehatan suatu bangsa, tingkat rasionalitas birokrasi dan kualitas para pemimpinya, kerelaan dan kemampuan media untuk mampromosikan sekaligus menjadi marketing juga menjadi suatu pilar yang tidak bias dilepaskan.
Para maestro senirupa Indonesia pada awal revolusi benar-benar tumbuh sebagai ekspresi bangsa merdeka tidak lepas peran Bung Karno sebagai Presiden, pemimpin bangsa dan kepala negara yang mampu menjadi penyambung, jembatan mengapresiasi dan mempromosikan seni Indoensia apda dunia inetrnasional.
Sebaliknya, tatkala para pemimpin, politikusnya tidak tahu seni dan tidak pula mampu mengapresiasi seni anak negeri jangan harap seniman kita bias menjadi maestro dunia. Justru kesulitan akan menyalurkan kreatifitas seni menjadi sulit tumbuh. (CDL-Jkt130515)
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana