DPRD Yogya Belum Pelajari Konsekuensi Sabda Raja Sultan

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono X.

TRANSINDONESIA.CO – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta belum mengetahui konsekuensi hukum dari sabda raja Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mengubah beberapa hal dalam aturan Keraton.

Dewan pun belum mempelajari kemungkinan implikasi hukum dari Sabda Raja karena belum menerima titah utama raja itu. Namun perubahan apa pun, sedikit atau banyak, pasti ada implikasinya pada penerapan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Kita belum tahu, karena sabdatama maupun sabda raja, kami belum menerima. Konsekuensinya seperti apa, kita belum tahu. Saya sendiri masih bingung juga,” kata Yugo Agung Indra Lesmana, anggota DPRD DI Yogyakarta, saat beraudiensi dengan sejumlah perwakilan dukuh, pada Kamis (7/5/2015).

DPRD, kata Yugo, bersikap pasif karena sabda raja itu adalah urusan internal Keraton dan Sultan. Dewan baru akan mempelajarinya setelah Sultan menyampaikan secara resmi perubahan aturan seputar Keraton kepada Pemerintah Pusat, yakni Kementerian Dalam Negeri, yang kemudian diteruskan kepada DPRD.

“Kalau ada tembusannya ke DPRD, menjadi bahan bagi kami (untuk mempelajari) apakah akan bebenturan dengan irisan-irisan kewenangan Dewan atau tidak,” ujarnya.

Ghazali, seorang tokoh masyarakat yang turut dalam audiensi itu, berpendapat bahwa pada pokoknya sabda raja adalah mutlak kewenangan Sultan. Dia tak menyoal kalau sabda itu tak ada implikasi strategis pada publik Yogyakarta.

Namun Ghazali mengaku gundah manakala mengetahui kabar bahwa Sultan menghapus gelar khalifatullah dan mengangkat putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, sebagai Putri Mahkota atau calon pengganti raja. Perubahan itu berhubungan dengan Undang-Undang Keistimewaan dan kekhawatiran tentang kemungkinan pemimpin Keraton adalah perempuan atau ratu.

“Yogya ini berbeda dengan daerah lain. ini berkaitan dengan Keraton dengan Undang-Undang Keistimewaan. Yang dikhawatirkan ratunya perempuan. Enggak setuju Gusti Pembayun jadi ratu karena melenceng dari paugeran-nya (aturan Keraton) enggak ada. Sayidin khalifatullah panatagama itu, kan, untuk laki-laki,” katanya.

Share