Mati tanpa Mimpi

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Manusia dewasa secara fisik tidak lagi tumbuh dan berkembang, mungkin mekar ke samping atau mengurus.

Namun otak dan hati nurani akan terus berkembang, mempunyai banyak mimpi-mimpi untuk terus diwujudkan dan ditumbuh kembangkan.

Mimpi dalam konteks ini adalah angan-angan, cita-cita untuk terus menumbuh kembangkan ide-ide kreatif, kepekaan, kepedulian.

Ada yang menganggap mimpi itu ndakik (muluk-muluk yang antara harapan dan kenyataan tidak sesuai), ada yang menganggap malah bikin setres bila tidak tercapai, ada pula yang menganggap sedang galau.

Anggapan-anggapan negatif selalu ada, sikap skeptif dan bahkan sinis terhadap mimpi atau pengembangan terhadap hal baru senantiasa ditemui di semua lini.

Kelompok-kelompok di zona nyaman dan aman membuat beku, bahkan bisa menjadikannya dungu, sikap pasrah (hopeless) inipun menjadi jalan buntu mewujudkan mimpi-mimpi tadi.

Bagi orang yang tidak mempunyai mimpi bisa jadi sebenarnya dalam sisa hidupnya hanya diisi dengan rutinitas sambil mengantri kapan mati. Tatkala menyampaikan hal yang kritis, atau mempertanyakan kelompok status quo langsung menjudge sebagai marah, atau sikap yang tidak etis karena bisa dianggap budi baik ndoro-ndoro.

Bagi kaum kacung yang berudeng memang menjilat, yesman, pamer kerja dan kerajinanya di depan ndoronya itu dianggap sebagai mimpinya atau kreatifitasnya.

Seorang pemimpin semestinya seorang pemimpi, tatkala ia memimpin diberi kesempatan dan kewenangan, disitulah ia berjuang mewujudkan mimpinya.

Seorang pemimpin yang tidak mempunyai mimpi dan tidak mampu mewujudkan mimpinya sebenarnya ia telah mengajak banyak orang mengisi sisa waktu hidupnya hanya begitu-begitu saja tanpa ada yang istimewa sebagai pengisi waktu sampai tiba saatnya ajal menjemputnya.(CDL-Jkt130415)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share