Swargo Nunut Neroko Endo

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Pepatah Jawa mengatakan, “swargo nunut neroko katut”, kalau sukses atau berhasil orang-orang yang mengikutinya akan ikut dimulyakan. Demikian juga sebaliknya tatkala yang diikuti dihujat dan celaka maka orang-orang yang mengikutinya akan celaka atau ikut dihujat.

Pepatah itu tdak berlaku bagi kaum kutu loncat, kaum pencari kenikmatan, para pemuja kekuasaan dan jabtaan. Mereka merubah pepatah tadi menjadi “swargo nunut neroko endo” yang artinya kalau sukses ikut dimuliakan namun, tatkala ada masalah dan petaka cepat-cepat menghindar agar tidak ikut dihujat.

Kaum-kaum endo saat susah atau saat kondisi tidak mengenakan memang sangat lihai dan mempunyai kemampuan untuk melobby. Disini menyenangi, disana meyayangi. Pendekatan mereka adalah uang, uang dan uang.

Kelompok-kelompok ini adalah kaum hedonis, saat berkuasa bagai setengah dewa namun tatkala tak ada kuasa mulailah nampak gilanya.

Kaum oportunis, kaum kutu loncat sebenarnya orang-orang lihai, kepandaianya digunakan untuk mengaakali, menyerobot, dengan cara-cara yang licik. Kemampuannya dipengaruhi sifat jahat. Mereka akan tega menghujat, memaki, memfitnah, merekayasa, membuli dan sebagainya.

Cara-cara kotor menjadi permainan dan bahagia tatkala melihat kesengsaraan atau penderitaan orang lain yang menentang dan berseberangan dengannya.

Kaum ini selalu haus akan kekuasaan jabatan dan uang. Otak daan hatinya penuh dengan trik dan intrik licik. Tak ada lagi rasa malu memamerkan yang ketololannya. Moralitas nol, karena menjilat sana dan menjilat sini. Tak ada solidaritas bagi yang sedang susah atau menderita.

Solidaritas dan loyalitasnya tatkala menguntungkan bagi pribadi dan kelompoknya. Bagi mereka kesetiakawanan sebatas pada kepentingan untung rugi.

Mengapa kekuasaan, jabatan menjadi sakral dan dipuja-puja dalam birokrasi yang patrimonial? Karena kekuasaan nyaris tak terbatas, bisa apa saja, seperti syair lagu Bento “persetan orang susah karena aku, yang penting asyik …”. Bahagia diatas tumpukan penderitaanpun bisa mereka nikmati tanpa empati.(CDL-Jkt220315)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share