Polisi: Kebenaran dan Pembenaran

e-policing-pradigma

TRANSINDONESIA.CO – Kebenaran merupakan hakiki, yang harus sesuai fakta dan kenyataan. Dalam bahasa Jawa ada pepatah, ‘bener durung temtu pener’ (yang benar belum tentu diterima sebagai kebenaran). ‘Bener yen ra umum iku salah. Salah yen umum iku dadi bener’ (benar jika tidak bisa dilakukan itu salah, sebaliknya salah tetapi banyak yang melakukan atau biasa dilakukan akan menjadi benar).

Kebenaran belum tentu diterima, karena belum terbiasa, sebab benar menurut seseorng belum tentu benar menurut orang lain. Yang salah dianggap benar dan diterima itulah pembenaran.

Menerima yang salah, menganggap yang salah itu lumrah, atau salah kaprah. Pembenaran bisa juga sebagai bentuk pemaksaan, atau memaksakan kehendak.

Polisi-pun ada diskresi, restorative justice, altentive dispute resolution yang merupakan kebijaksanaan untuk tidak mengambil jalur hukum atas pelanggaran-pelanggran yang tidak diselesaikan melalui jalur hukum.

Apakah itu merupakan pembenaran? Kalau pembenaran dimaknai sebagai membenarkan yang keliru tentu bukan.  Karena kebjaksaan yang diambil oleh Polisi atas pelanggarn hukum itu untuk: 1. Kemanusiaan, 2. Keadilan, 3. Kepentingan  yang lebih luas dan 4. Edukasi.

Dengan demikian, pijakan Polisi adaah kebenaran namun, ada alternatif-alternatif  lain yang boleh diambil tetapi bukan sebagai bentuk pembenaran. Pembenaran adalah sikap permisive atas kebiasaan yang salah.

Kebenaran ini bukan sebatas benar dan salah, bukan juga baik dan buruk, melainkan hal hakiki yang merupkan fakta dan kenyataannya. Walaupun belum tentu diterima atau dianggap sesuatu yang benar.

Trans Global

Disinilah, sebenarnya Polisi menegakan hukum dengan berpegang pada kebenaran yang difokuskan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia atau memanusiakan manusia.

Sehingga Polisi juga diberi kewenangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Inilah yang dinamakan Polisi,  juga sebagai penegak keadilan.

Tatkala hukum tidak menemui rasa keadilan maka, Polisi boleh mengabaikanya tentu dengan koridor-koridor kemanusiaan, kepentingan umum yang lebih luas, keadilan juga edukasi.

Tetapi bukan berarti melakukan pembenaran, Polisi boleh melakukan diskresi, restorative justice, alternative dispute resolution namun bukan berarti boleh membenarkan yang keliru.

Ketika Polisi membiarkan yang keliru, tidak mengambil tindakan atas kekeliruan, ada yang perlu ditanyakan.

Apakah Polisi tidak peka atau tidak peduli? Polisi menjadi enggan atau malas atau lelah karena yang salah sudah diterima sebagai kebenaran? Apakah Polisi sudah menerima suap? Banyak hal yang menjadi asumsi dan pertanyan ketika Polisi terjebak pada pembenaran.CDL-AwanPutihMaguwo CGK191014)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share