TRANSINDONESIA.CO – FIlm The Act of Killing menuai kontroversi di dalam negeri, namun dihujani penghargaan di mancanegara. Karya Oppenheimer ini menjadi tontonan alternatif soal G30S dan rentetan kejadian setelahnya yang selama ini didominasi film Pengkhianatan G30S/PKI.
Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer itu memang menuai banyak kritik soal keakuratan penggambaran peristiwa pada 1965 itu. Namun dari semua kritik itu, yang tak biasa adalah yang datang dari Nani Nurrachman Sutojo, karena dia adalah putri Mayor Jenderal (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo yang jadi korban G30S.
Nani memang berbeda, setelah berdamai dengan masa lalunya yang pedih itu, ia menggagas rekonsiliasi dengan mereka yang dicap keluarga PKI dan kelompok pemberontak lainnya. Kritik Nani terhadap film Pengkhianatan G30S/PKI itu dituangkan dalam buku Saya, Ayah, dan Tragedi 1965. Berikut ini nukilannya:
***
“Ma… What is a communist? Was it them who killed Eyang Tojo?”
Pertanyaan itu dilontarkan Nano, anak bungsu Nani yang kala itu berusia delapan tahun, usai menonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Pada 1986 itu, memang Nano baru pertama kali menonton film itu karena sebelumnya mereka tinggal di New York, tempat suami Nani bertugas sebagai diplomat.
Diproduksi selama dua tahun dengan biaya sekitar Rp 800 juta, film karya Arifin C. Noer ini dirilis pada 1984. Film ini menjadi tontonan wajib di bioskop umum.
Lepas dari layar lebar, film yang skenarionya ditulis Arifin dan sejarawan pemerintah Orde Baru Nugroho Notosusanto ini terus diputar di televisi setiap 30 September dan baru distop penayangannya oleh TVRI setelah 1998.
Nani mengaku heran dengan pesan yang mau disampaikan film itu. “Apakah seperti ini informasi yang akan kita wariskan kepada generasi anak-cucu tentang Peristiwa 30 September 1965?”
Bagi Nani, film yang luar biasa panjang durasinya itu tidak berhasil mengangkat situasi dan gejolak sosial yang tidak bisa dilepaskan dari tragedi itu. Tadinya ia mengira ini akan jadi film sejarah yanf menukik dan menggambarkan situasi ketika itu.
“Film ini jauh dari bayangan saya tentang sebuah tuturan sejarah,” ujarnya. “Malah berlebihan terlihat menonjolnya peran Pak Harto.”
Nani menganggap sah-sah saja peran Suharto mau digambarkan heroik di film itu, tapi masalahnya film tak menampilkan konteks sosial seputar peristiwa G30S. Sehingga bagi Nani penonton, apalagi yang lahir setelah peristiwa itu meletus, pasti tidak akan paham karena gambarannya tidak utuh.
Buktinya, kata Nani, putranya sendiri bingung setelah menontonnya. Akan pertanyaan Nano itu, Nani memilih meminta anaknya menanti penjelasannya hingga cukup umur buat dijelaskan.
“Kata ‘pengkhianatan’ pada judulnya juga mengundang tanda tanya besar untuk saya dan mereka yang menonton dengan kritis,” kata Nani. “Pengkhianatan terhadap siapa?”
Bagi Nani, sejarah termasuk cara penyampaiannya melalui film seperti itu adalah rekonstruksi terhadap peristiwa besar masa lampau yang mengguncang dan mengubah tatanan sosial masyarakat saat itu. “Bagaimana peristiwa itu diabadikan tentunya akan dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa saat itu, karena pihak berkuasalah memiliki dominasi untuk membuatnya.”
Padahal, kata dia, peristiwa sejarah melibatkan banyak pihak yang masing-masing punya hak buat menyampaikan versinya. Sejarah bukanlah rekaman masa lampau yang satu atau baku, tapi multidimensi.
Karena itu, masyarakat tidak boleh disodorkan pada versi tunggal terhadap suatu peristiwa sejarah seperti G30S. “Kita harus siap menerima kenyataan akan berbagai versi mengenai terjadinya peristiwa 1965,” ujarnya.
Selengkapnya bisa dibaca di buku:
Judul:
Kenangan Tak Terucap; Saya, Ayah, dan Tragedi 1965
Pengarang:
Nani Nurrachman Sutojo
Penerbit:
Penerbit Kompas, 2013
Tebal:
xliv + 228 halaman.(yh)