TRANSINDONESIA.CO – Presiden Direktur (Presdir) PT Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto mengaku kesulitan untuk merampungkan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) jika dibangun di Timika, Papua, sampai akhir 2016.
“Kewajiban sesuai PP akhir 2016 harus selesai, itu masalahnya, waktunya terlalu pendek untuk kita bangun di Papua, infrastrukturnya harus dibangun dan waktunya terlalu pendek,” kata Rozik, usai menemui Gubernur Papua Lukas Enembe, di Jayapura, Senin (18/8/2014).
Rozik mengaku menemui Gubernur Papua, guna menyampaikan aktivitas ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia yang sudah dimulai lagi, setelah nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah ditandatangani.
Freeport dibolehkan ekspor konsentrat setelah menuntaskan renegosiasi kontrak karya (KK) dan memenuhi sejumlah item yang diwajibkan pemerintah.
Freeport menghentikan ekspor hasil tambang sejak Januari 2014 setelah pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan bea keluar progresif dengan tarif awal 25 persen.
Aturan tersebut dikeluarkan karena raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di Papua itu tidak mematuhi Undang Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mewajibkan pengolahan hasil tambang di dalam negeri.
Freeport kemudian menunjukkan keseriusannya untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Indonesia.
Pemerintah kemudian memberikan keringanan tarif bea keluar kepada Freeport yang telah menunjukkan komitmen pembangunan smelter dengan menyetor uang jaminan 115 juta dolar AS atau sekitar Rp1,32 triliun.
Selain itu, Freeport juga diharuskan membayar bea keluar sesuai tarif baru yakni 7,5 persen pada tahun pertama (setelah pemerintah memberi keringanan nilai) dan pembayaran royalti yang lebih banyak dari sebelumnya.
Rozik mengakui, kesulitan untuk merampungkan pembangunan smelter di Papua itu telah disampaikan kepada Gubernur Papua dan pihak terkait lainnya yang juga hadir dalam pertemuan koordinasi di ruang kerja Gubernur Papua di Jayapura itu.
“Itu juga yang menjadi pembicaraan dengan beliau (Gubernur Papua), yang saya sampaikan. Saya menghadap Bapak gubernur untuk mohon saran dan juga bersama-sama menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah, seperti untuk bahas amandemen Kontrak Karya,” ujarnya.
Menurut dia, jika harus tetap diwajibkan membangun smelter dalam waktu pendek maka pilihannya di tempat yang sudah ada infrastruktur yakni di Gresik, Jawa Timur.
Jika harus tetap dibangun di Papua, maka Freeport butuh waktu panjang karena harus membangun infrastruktur dan mencari investor pendukung pengoperasian smelter seperti pabrik semen untuk pengolahan limba padat dan pengolahan cairan yang berbahaya untuk lingkungan.
“Pasti memerlukan waktu yang lebih leluasa, pasti akan lebih lama dari waktu yang ditetapkan. Mungkin Pak Gubernur akan sampaikan hal ini di nasional, kami lihat dari sisi teknis demikian,” ujar Rozik.(ant/kum)