TRANSINDONESIA.CO – Terkait kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi yang sudah dimulai pemerintah sejak awal Agustus lalu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri dalam diskusi di Jakarta, kemaren, mengungkapkan pesimistis upaya tersebut akan gagal.
Kebijakan pemerintah melarang penjualan BBM bersubsidi jenis solar di wilayah Jakarta pusat, dibatasinya waktu penjualan solar di berbagai wilayah di Indonesia serta larangan penjualan BBM bersubdi di jalan tol menurutnya tidak akan efektif. Ia juga menegaskan tidak sependapat dengan berbagai kalangan termasuk pemerintah yang mengatakan bahwa meningkatnya penggunaan BBM bersubsidi karena bertambahnya jumlah kendaraan terutama mobil pribadi.
“Jumlah mobil yang naik bukan alasan sebetulnya, infrastrukturnya kan nggak ada, infrastrukturnya nggak dibangun makanya macet melulu, impor BBM tahun 2013 itu berjumlah 28 milyar US dollar, Januari-Juni tahun ini 13,3 milyar dolar AS, BBM adalah impor terbesar dibanding komoditi lain, kita juga impor minyak mentah, sejak tahun 2013 sudah lebih besar dari ekspor minyak mentah kita, jadi defisit juga, semua jadi ujungnya rupiah rusak, APBN rusak segala macam itu,” ungkap Faisal.
Faisal Basri menambahkan, selisih harga yang signifikan antara BBM bersubsidi dan non subsidi juga rentan terjadinya penyelundupan BBM bersubsidi. Tidak ada cara lain ditegaskannya untuk menekan anggaran subsidi BBM, selain dengan cara pemerintah segera menaikkan harga BBM bersubdi,
“Perbedaan harga sedemikian besar, jadi tidak ada kekuatan manapun yang mampu untuk mengendalikan segala macam, semua seluruh upaya pengendalian gagal kok, nah kalau ini tidak diatasi maka saya yakin ongkos dari tidak menaikkan harga BBM akan jauh lebih besar dari pada menaikkan segera BBM bersubsidi,” jelas Faisal.
Pada kesempatan sama, pengamat energi dari Centre for Petroleum, Kurtubi mengatakan anggaran untuk subsidi BBM maupun berbagai program pengendalian sebaiknya digunakan untuk membangun infrastruktur bahan bakar gas. Ia memberi contoh pembangunan pipa-pipa untuk menyalurkan gas ke berbagai wilayah atau juga pembangunan SPBU khusus gas.
Menurutnya, sumber daya alam di Indonesia masih sagat kaya dengan sumber-sumber gas sehingga sudah saatnya Indonesia terus mengurangi penggunaan BBM dan berlaih ke BBG.
“Saya sendiri tidak pernah sependapat dengan kebijakan pembatasan ini, kontra produktif, berpotensial mengurangi kegiatan dan gerak ekonomi rakyat, padahal kita mengiinginkan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk bisa menyerap lapangan kerja yang lebih banyak, ada skenario bisa dipakai untuk mengurangi subsidi BBM ini yaitu program koversi ke gas,” ujar Kurtubi.
Faisal Basri dan Kurtubi juga berpendapat tidak ada alasan pemerintahan transisi tidak berhak menaikkan harga BBM bersubsidi seperti akhir-akhir ini sering disampaikan para menteri bidang ekonomi. BBM bersubsidi harus dinaikkan segera dan tahap berikutnya dilanjutkan oleh pemerintahan baru nanti sehingga masyarakat juga tidak terlampau kaget jika dilakukan dengan cara bertahap.(voa/met)