TRANSINDONESIA.CO – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat meminta pemerintah pusat segera menyelesaikan re-negosiasi dengan PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) terkait ketentuan pajak ekspor konsentrat hingga berujung dihentikannya operasional tambang emas dan tembaga di Pulau Sumbawa itu.
“Kami harapkan pemerintah pusat dan PTNNT dapat melakukan renegosiasi soal pajak ekspor konsentrat yang dinilai cukup memberatkan, setelah upaya serupa sebelumnya mengalami jalan buntu,” kata Wakil Gubernur NTB H Muhammad Amin di Mataram, Selasa (17/6/2014).
Ia menyebutkan, melalui langkah renegosiasi diharapkan dapat tercapai kata sepakat mengenai besaran pajak ekspor dan lain-lain, sehingga PTNNT dapat secepatnya beroperasi kembali.
“Bila tidak secepatnya dapat dioperasikan sebagaimana biasa, tentu akan membawa dampak yang cukup besar bagi ribuan karyawan PT tersebut,” ujar Wagub.
Wagub menyebutkan, terkait kelangsungan operasional perusahaan tambang milik Amerika Serikat itu, pihaknya telah bersurat kepada pemerintah pusat.
“Bahkan tidak hanya melalui surat, Pak Gubernur sendiri sempat menemui Menko Perekonomian, termasuk dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membicarakan soal PT Newmont supaya tetap bisa beroperasi,” ucapnya.
Dikatakannya, jadi tidak benar bahwa pemprov bersama Pemkab Sumbawa Barat dan Sumbawa, tidak melakukan berbagai upaya, termasuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat menyusul dirumahkannya sebanyak 3.200 karyawan PTNNT.
Menurut dia, Pemprov NTB juga telah bertemu dengan manajemen PTNNT guna membahas solusi dan jalan ke luar terbaik, akibat diberlakukannya Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, dan pascapemberlakuan keputusan Menteri Keuangan tentang pajak ekspor konsentrat sebesar 25 persen.
“Upaya-upaya terkait dampak dari pemberlakukan undang-undang ini, sudah coba kita komunikasikan dengan pemerintah pusat, termasuk menteri keuangan, karena Newmont sudah beralasan belum memiliki kemampuan untuk membangun smelter,” ujarnya.
Politisi Partai Golkar ini menyatakan, dalam persoalan kasus PTNNT, Pemprov NTB tidak memiliki kewenangan karena semua keputusan tersebut ditentukan pemerintah pusat. Walaupun demikian, Amin mengakui hal ini telah berdampak kurang baik bagi provinsi maupun kabupaten di mana lokasi PTNNT berada.
“Ini bukan hal sepele, karena menyangkut 8.000 pekerja yang menggantungkan hidup di tambang. Tentu ini sangat menjadi perhatian kita bersama, sehingga kita minta agar pemerintah pusat dapat mempercepat penyelesaian persoalan ini,” kata dia.
Saat ini Newmont sedang melakukan upaya renegosiasi untuk kembali kepada kontrak karya (KK). Hal ini disebabkan, menurut Newmont, kebijakan pemerintah sangat bertentangan dengan kontrak karya yang telah disepakati antara perusahaan asal Amerika Serikat itu dengan Pemerintah Indonesia.
“Karena dalam KK itu, tidak ada soal pembangunan smelter, makanya kita juga patut khawatir kalau masalah ini dibawa ke sidang arbitrase internasional,” ucap dia.
Meski demikian, kata Amin, pihaknya akan tetap berupaya melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat. Namun, sekali lagi ditegaskan orang nomor dua di NTB ini, bahwa semua keputusan ada di tangan pemerintah pusat.
Naiknya pajak ekspor konsentrat sebesar 25 persen membuat PTNNT kini harus mengurangi produksi dan merumahkan ribuan karyawan.
Manajemen Newmont berdalih, langkah merumahkan karyawan terpaksa harus diambil, karena dengan pemberlakukan Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba, diikuti PP Nomor 1 tahun 2014 tentang larangan ekspor bahan mentah, sangat memberatkan perusahaan.
General Manager Operation PTNNT Raind Trent Tample menyatakan, aturan yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan tambang ini sangat memberatkan perusahaan. Menurutnya, aturan pemerintah ini mengancam keberlangsungan operasional PTNNT.
“Bea ke luar progresif sebesar 25 persen tahun ini terhadap ekspor konsentrat hasil tambang, sangat memberatkan finansial dan mengancam keberlangsungan operasional PTNNT,” ujarnya, menandaskan.(ant/sun)