TRANSINDONESIA.CO – Ketua Dewan Pimpinan Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Provinsi Bali Ida Bagus Kompiang mencatat selama revolusi fisik periode 1945-1949 di Pulau Dewata terjadi 131 kali pertempuran melawan penjajah.
“Di lokasi peristiwa kontak senjata itu sebagian besar telah berhasil dibangun monumen atau tonggak sejarah,” katanya dalam sambutan tertulis dibacakan Sekretaris DPD LVRI Bali Djero Wiladja di Desa Adat Ole, Kabupaten Tabanan, Selasa (3/6/2014)
Pada acara peresmian monumen pahlawan I Gusti Ngurah Rai bersama empat pembantunya yang terdiri atas Kapten I Gusti Bagus Sugianyar, Mayor I Gusti Putu Wisnu, Kapten Gusti Wayan Debes, dan Wagimin dengan tinggi masing-masing 230 centimeter di Pelataran Pura Dalem Base, Desa Adat Ole, Kecamatan Marga.
Ia mengemukakan bahwa pembangunan monumen dan tonggak sejarah itu itu sebagai wujud penghargaan terhadap jasa-jasa para suhada yang telah gugur dalam menunaikan Bakti, gugur dalam perjuangan kemerdekaan RI.
Mengabadikan peristiwa yang mempunyai nilai sejarah perjuangan kemerdekaan RI agar selalu diingat masyarakat dan generasi penerus sehingga abadi sepanjang masa.
Hal yang tidak kalah penting lainnya melestarikan jiwa, semangat, dan nilai-nilai perjuangan 1945 kepada generasi penerus bangsa.
Ida Bagus Kompiang menjelaskan bahwa sejarah bangsa terus berjalan tiada henti dan generasi muda sebagai putra putri terbaik bangsa hendaknya sadar mewarisi, mempertahankan, dan melanjutkan nilai-nilai luhur perjuangan para pendahulunya.
“Bercermin dari sejarah akan memberikan banyak manfaat untuk memperoleh berbagai pengetahuan seperti strategi dan teknik kepemimpinan, nilai kejuangan, kepahlawanan dan semangat patriotisme,” ujar Ida Bagus Kompiang di hadapan ratusan masyarakat Desa Adat Ole yang memadati pelataran Pura Dalem Base.
Ia menjelaskan bahwa kini para pelaku sejarah semakin berkurang, bahkan suatu saat nanti akan habis.
“Dengan adanya pembangunan monumen dan tonggak-tonggak sejarah itulah yang akan bisa bercerita kepada anak cucu kita nanti,” ujar Ida Bagus Kompiang.
Untuk itulah demi kesinambungan pewarisan jiwa, semangat dan nilai-nilai kejuangan 1945 kepada generasi penerus bangsa, harap Ida Bagus Kompiang.
Saksi Bisu Pura Dalem Base Desa Adat Ole menjadi saksi bisu, karena 68 tahun silam, tepatnya 19 November 1946, sehari sebelum Perang Puputan Margarana, pasukan Ciung warana yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai sempat mengadakan persembahyangan bersama dan beberapa kali mengadakan pertemuan.
I Gusti Ngurah Rai yang kini diakui sebagai pahlawan nasional dengan pasukan Ciung wanaranya setelah melewati masa gerilia yang melelahkan, 14 Nopember 1946, staf Markas Besar Umum (MBU) DPRI Sunda Kecil pindah dari Desa Kuwum menuju Banjar Ole.
Di banjar yang sejuk dan damai itulah pasukan induk yang dipimpin I Gusti Ngurah Rai melewati hari-hari yang menegangkan dan penuh warna. Mereka menginap dan berbaur dengan warga Banjar Ole, bersembahyang, mengatur strategi dan sempat bergembira.
Ketegangan berawal ketika pasukan induk itu mendengar informasi bahwa NICA yang dikoordinasikan oleh Van Mook berencana menyelenggarakan konferensi di Denpasar pada Desember 1946 untuk membentuk Negara Indonesia Timur.
Untuk menggagalkan konferensi itulah pada 18 Nopember 1946 Gusti Ngurah Rai memerintahkan Debes menyerbu tangsi NICA di Tabanan. Tujuannya untuk membobol tangsi dan merampas senjata.
Sekitar 380 orang dipersiapkan berangkat ke tangsi NICA di Tabanan untuk melakukan penyerbuan. Selain pasukan induk, sejumlah lelaki dewasa dari Banjar Ole juga ikut di dalam pasukan penyerbuan tangsi.
Sebelum berangkat, mereka melakukan persembahyangan di Pura Dalem Basa yang dipimpin oleh seorang pemangku, Pan Pasek (alm).
Strategi penyerbuan disusun dengan rapi. Sebelum berangkat, I Gusti Ngurah Rai mengutus seorang pejuang wanita, Ni Lasti, menyampaikan surat dan bertemu dengan Wagimin, Kepala Polisi NICA di Tabanan, yang bekerja sama dengan pasukan Ngurah Rai.
Wagimin sangat setuju dengan upaya laskar rakyat untuk mendapatkan senjata. Sambil menunggu pasukan untuk menyerbu, Wagimin memerintahkan anak buahnya untuk konsinyir. Dan ketika pasukan penyerbu datang, Wagimin bergabung dengan mereka.
Penyerbuan pun berjalan mulus, dan mereka berhasil mendapatkan sejumlah senjata, antara lain dua pucuk bren, dua pucuk pistol mitraliu, 36 pucuk karben, dua pucuk senapan angin, 16 blek peluru dari berbagai jenis dan caliber, tiap-tiap blek berisi 500 butir peluru.
Selain senjata. pasukan juga berhasil menggondol dua mesin ketik. Bertepatan dengan terbitnya matahari di langit timur, pasukan kembali ke Banjar Ole dengan memanggul senjata hasil rampasan.
Wagimin pun ikut bergabung. Atas keberhasilan itu, Gusti Ngurah Rai dan kawan-kawan bergembira. Pasukan diizinkan beristirahat. Warga Banjar Ole pun ikut bergembira, sebelum besoknya 20 Nopember 1946 berhadap dalam perang puputan melawan NICA yang akhirnya gugur sebagai Ratna Kusuma Bangsa.(ant/oki)