TRANSINDONESIA.CO – Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) TGH M Zainul Majdi koordinir penanganan kasus perdagangan manusia (human trafficking) yang semakin merebak di Pulau Lombok dan Sumbawa agar dihukum seberat-beratnya oleh aparat.
“Pemprov NTB akan koordinir penanganan kasus ini,” kata Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi saat meninjau kondisi terakhir di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Budi Rini Mataram, yang antara lain dihuni perempuan korban “human trafficking”, di Mataram, NTB, Selasa (6/5/2014).
Gubernur mengaku akan segera berbicara dengan Kapolda NTB Brigjen Pol Moechgiyarto, untuk menegakkan hukum terkait dengan kasus “trafficking” itu.
“Kami akan bicara dengan Kapolda NTB untuk menerapkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku ‘trafficking’. Saya lihat mereka korban ‘trafficking’ usia belia dan masih sekolah, ada yang 14 dan 15 tahun,” ujarnya.
Zainul memastikan bahwa Kapolda NTB akan menerapkan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku “trafficking” agar ada efek jera.
Namun, politisi Partai Demokrat itu menolak jika NTB disebut sebagai daerah asal atau penerima korban “trafficking”.
“Saya pastikan dengan Kapolda semua yang terlibat dihukum seberat-beratnya. Tetapi saya menolak NTB disebut daerah asal atau daerah penerima,” ujarnya, sembari memerintahkan Asisten Administrasi Umum dan Kesra H Lalu Syafi’i untuk mengevaluasi program pendampingan ekonomi.
Menurut dia, faktor ekonomi masih mendominasi penyebab masalah sosial, sehingga program ekonomi kerakyatan harus terus ditingkatkan.
Selain itu, kasus pernikahan dini juga harus mendapat perhatian serius, karena merupakan salah satu penyebab timbulnya permasalahan sosial.
Saat meninjau PSKW Budi Rini Mataram, Gubernur NTB mendapat laporan dari Kepala PSKW Budi Rini Ni Ketut Sastrini bahwa saat ini penghuni panti sosial itu tercatat sebanyak 36 orang, termasuk 28 orang yang terjaring razia Satpol PP Provinsi NTB beberapa hari lalu.
Perempuan binaan PSKW Budi Rini itu berusia 14-35 tahun, dan berasal dari berbagai daerah di wilayah NTB dan di luar NTB.
Puluhan perempuan yang terjaring razia itu antara lain sebanyak dua orang dari Kabupaten Sumbawa Barat, empat orang dari Kota Mataram, sembilan orang dari Lombok Tengah, tujuh orang dari Lombok Timur.
Selain itu, terdapat sembilan orang perempuan yang berasal dari Jawa Barat, dan seorang dari Jawa Timur, yang juga terjaring razia dan kini dalam binaan PSKW Budi Rini.
Sementara daya tampung panti sosial yang didirikan sejak 1982 itu mencapai 50 orang, namun pernah dihuni 60 sampai 70 orang.
Selain wanita pekerja seks komersial (PSK), di sana juga ditampung perempuan korban “trafficking”, kekerasan seksualitas, penderita HIV/AIDS dan perempuan bermasalahan sosial lainnya.
Bahkan ada enam orang perempuan yang masih dikategorikan di bawah umur, yang berasal dari Pulau Lombok.
Anak di bawah umur itu awalnya dijanjikan akan dipekerjakan di restoran dengan gaji sebesar Rp1,5 juta per bulan. Ternyata dijadikan pemandu lagu untuk para pria di kafe.(ant/sun)