Pengamat Demokrasi: Perempuan Layak Punya Suara Setara dalam Proses Pembuatan Keputusan

model wanita kesataraan gender Model mengenakan kaos dengan pesan ajakan agar rakyat Indonesia ikut memilih.(ap)

 

TRANSINDONESIA.Co, Washington DC : Michelle Bekkering, Resident Country Director untuk program Indonesia dari Internasional Republican Institute, atau IRI, sebuah lembaga non pemerintah dan nirlaba yang berkantor pusat di Washington DC mengatakan meskipun perwakilan perempuan di Indonesia rata-rata di semua tingkat perwakilan masih rendah tapi ada keinginan dari perempuan dan masyarakat madani serta partai politik Indonesia agar  jumlah tersebut meningkat.

Bekkering yang dijumpai VOA ketika berkunjung ke kantor pusat IRI mengatakan, “Jumlah perempuan di setiap negara  hampir separuh dari populasi sehingga perempuan  selayaknya mempunyai suara yang setara dalam proses pembuatan keputusan di negara mereka masing-masing”.

Meski demikian Bekkering mengakui Indonesia telah membuat pencapaian penting lewat koalisi kuat perempuan di dalam partai politik dan masyarakat madani yang bekerja meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.

“Jadi kita melihat bukan hanya keberhasilan mendorong  30 % kuota gender tapi juga pemberlakuannya, akan ada mekanisme pinalti jika partai tidak mengikuti kuota gender”.

Tantangan yang dihadapi calon legislatif perempuan di Indonesia kata Bekkering juga hampir serupa dengan perempuan di negara-negara berkembang, di mana umumnya perempuan secara historis tidak banyak memangku jabatan atau perwakilannya sedikit, sehingga masyarakat tidak terbiasa dengan peran perempuan dalam kepemimpinan. Ia menekankan pentingnya memberikan pendidikan dan informasi kepada pemilih  dan masyarakat mengenai peran perempuan sebagai pemimpin  mengingat  kelebihan-kelebihan yang dimiliki perempuan.

“Dalam program yang sekarang sedang kami selenggarakan 72% peserta pelatihan dalam lokakarya adalah calon perempuan untuk pertama kali. Ini peningkatan tajam dalam proses pembelajaran. Bukan hanya belajar mengenai aturan-aturan pemilu  karena banyak perubahan pada pemilu 2014 tapi juga belajar makna menjadi seorang calon. Bagaimana menentukan isu-isu dan merancang pesan-pesan menanggapi isu-isu tersebut, bagaimana mereka menggalang dana dan lain sebagainya” kata Bekkering.

Perempuan, kata Bekkering tidak selalu menjadi pemimpin dalam partai politik dan  seringkali hanya sedikit bahkan tidak mendapat dana yang memadai untuk berkampanye dan secara struktural jauh berbeda dari  laki-laki di dalam partai.

“Jadi salah satu yang kami tekankan dalam pelatihan adalah perempuan perlu terus berkomunikasi dengan para pemimpin partai, terus menanyakan kesempatan, dan meminta dukungan mereka serta memastikan agar mereka dipandang sebagai mitra yang gigih dalam pemilu ini.”

Tantangan lain bagi calon perempuan di Indonesia menurut  pengamat demokrasi ini  adalah perempuan sulit menggalang dana dan ini seringkali terkait dengan pola pikir. Kampanye dalam skala besar tanpa dana atau biaya minim menurutnya bisa dilakukan, antara lain dengan aktivitas dari rumah-ke-rumah juga lewat pesan sms dan teknologi berbasis internet.

Calon perempuan katanya bisa memulai penggalangan dana dari orang-orang terdekat, lingkungan pekerjaan, perkumpulan atau organisasi keagamaan. Jaringan ini punya kepentingan dan kepercayaan terhadap para calon yang sangat penting bagi kesuksesan kampanye. Calon perempuan sebaiknya mempertimbangkan untuk menggalang dana dalam jumlah kecil. Cara ini katanya sudah terbukti, bahkan di Amerika kandidat seringkali sukses menggalang banyak donatur kecil dibandingkan merekrut satu atau dua donatur yang besar.

Para calon perempuan Indonesia menurut Bekkering juga prihatin dengan kecenderungan politik uang dalam pemilu. Ia yakin jika partai-partai politik dan para calon legislatif bekerja sama untuk mengatasinya kampanye bisa dilakukan dengan bersih dan biaya kampanye akan jauh lebih rendah karena para calon tidak lagi membayar pemilih atau menawarkan uang, barang atau hadiah. Memberi uang kepada pemilih, kata Bekkering jelas ilegal.

Para calon perempuan juga perlu membentuk bentuk tim manajemen yang efektif. Michelle Bekkering menyarankan tim terdiri dari laki-laki dan perempuan yang paham betul akan sikap dan pendirian calon dalam membela masyarakat yang diwakilinya. Ia juga menyarankan pemetaan wilayah sebelum menentukan besar kecilnya tim kampanye dan kampanye dari rumah ke rumah adalah cara yang paling efektif dalam memenangkan suara pemilih.

Bekkering menambahkan sistim pemberian suara dalam pemilu 2014 bisa memberi kesempatan lebih besar bagi calon perempuan Indonesia. Sistim sekarang memungkinkan pemberian suara kepada partai dan para calon. “Perolehan suara akan dihitung untuk menentukan Partai yang memenuhi rasio 3,5 %  suara untuk perwakilan tingkat nasional dan kursi akan jatuh pada calon partai pemenang yang paling banyak mendapat suara. Ini bisa sangat menguntungkan perempuan yang namanya tidak tercantum di urutan teratas daftar partai. Di Indonesia umumnya perempuan dipasang diurutan ke tiga, lima atau ke enam. Ini sekali lagi akan menguntungkan karena akan dihitung berdasarkan jumlah suara yang diperoleh calon” kata Bekkering. Tapi ia mengingatkan pendidikan dan informasi mengenai sistim baru ini penting agar diketahui para pemilih. Kehadiran pemantau yang mewakili calon di TPS dan tempat penghitungan suara juga akan menghindari hilangnya suara atau pemberian suara kepada calon lain karena pemilih tidak memberi pilihan untuk wakil di tingkat tertentu.

Program perempuan IRI di Indonesia yang dipimpin Michelle Bekkering kini berpusat di lima provinsi yaitu Aceh, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kelima provinsi tersebut  dianggap mewakili keragaman etnis, agama, budaya dan geografis, selain itu perwakilan perempuannya sangat rendah dibandingkan provinsi lainnya.(voa/fen)

Share