Yusril Ihza Mahendra di MK.(ant)
TRANSINDONESIA.co, Jakarta : Ketua Majelis Syuro PBB Yusril Ihza Mahendra menegaskan, gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Pilpres yang dimohonkannya tidak serupa dengan gugatan yang dimohonkan Effendi Gazali, dkk. Artinya, perkara yang diajukannya tetap layak untuk digelar karena tidak nebis in idem.
“Permohonan ini tidak nebis in idem (mengadili perkara yang sama),” kata Yusril dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (3/2/2014).
Dalam sidang dengan agenda perbaikan permohonan tersebut, Yusril memaparkan, argumen tentang pasal yang diuji oleh dirinya selaku capres dari PBB dengan UUD 1945 berbeda dengan permohonan pemohon sebelumnya.
“Khususnya tentang argumen konstitusional pasal bertentangan dengan UUD 1945 dan ini berbeda dengan permohonan sebelumnya. Pemohon merujuk pada berbagai peraturan perundangan dan hukum acara MK apabila pasal yang diujikan sama dan UUD yang dibandingkan berbeda dengaan argumen berbeda maka tetap dapat dilaksanakan dan tidak nebis in idem,” kata Yusril.
Mantan Menkumham itu menilai, pasal-pasal yang diajukan Effendy tidak spesifik menguji tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) yang diatur di dalam Pasal 7C UU Pilpres.
“Di dalam keseluruhan permohonan bahwa pasal yang diuji dalam UU bertentangan dengan UUD 1945, mengajukan argumentasi yuridis dan tidak argumentasi politis,” ujarnya.
Menurutnya, Effendi hanya memohonkan pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekutan hukum mengikut. Tidak ada permohonan yang menuntut MK menyatukan pemilu.
“Dalam diktum putusan MK juga tidak ada dinyatakan pemilu disatukan, dalam permohonan Effendi dalam uraiannya alasan mengapa pemilu harus disatukan karena rezim pemilu ada empat jenis yakni, DPR, DPD, DPRD, dan capres. Setelah pasal itu dinyatakan bertentangan dan dibatalkan demi hukum selanjutnya MK mengatakan putusan ini baru berlaku 2019, tidak ketika diucapkan,” paparnya.
Yusril tidak sepakat dengan putusan MK yang menyatakan pemilu serentak digelar pada 2019. Menurutnya, putusan MK memiliki kekuatan hukum mengikat seketika diucapkan dalam sidang terbuka.
“Pemohon termasuk perancang UU MK dan memahami teks UUD 1945, kami menyatakan putusan itu tidak lazim. Ada perbedaan peraturan perundangan, yang bisa dinyatakan bisa berlaku tanggal sekian atau sebulan kemudian, tapi tidak putusan MK. Putusan MK berlaku seketika diucapkan,” paparnya.
Dikatakan, jika MK memutus pemilu serentak pada diberlakukan pada 2019 maka, sebelum mengeluarkan putusan, hakim konstitusi seharusnya mengundang Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menanyakan kesiapan KPU jika dilaksanakan pemilu serentak pada 2014.
“MK bisa memanggil KPU dan bertanya bisa dijalankan 2014 atau tidak ? itu adil karena itu kami ungkapkan di sini,” katanya.
Dirinya juga mempertanyakan tentang keputusan hakim konstitusi yang masih memberlakukan PT dalam pelaksanaan pemilu serentak.
Padahal, Effendi juga telah mengajukan pencabutan pasal yang mengatur PT tersebut. Yusril berpandangan, ketentuan PT sudah tidak lagi diperlukan di dalam pelaksanaan pemilu serentak.
“Kalau pemilu serentak, bagaimana mengatur ambang batas ? Oleh karena itu, kami mengajukan ini kembali,” katanya.(sp/ant/met)