5 Bulan Tertunda, Ismail dan Ema Menikah di Tenda Pengungsian Sinabung

Nikah dipengungsian Sinabung Ismail dan Ema menikah di tenada pengungsian Gunung Sinabung.(transindonesia-ded)

 

TRANSINDONESIA.co, Kabanjahe : Ditengah gemuruhnya letusan Gunung Sinabung dan duka mendalam pasca tewasnya 15 warga dan 3 luka bakar, namun hari ini Senin (3/2/2014), wajah-wajah murung itu memancarkan raut sukaria dipengungsian Meka Mehuli, Desa Samura, Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara.

Pasalnya, tempat pengungsian yang didiami 664 jiwa (170 kepala keluarga) itu tengah hikmah mengikuti proses akad nikah, Muhammad Ismail (22) yang bersanding dengan wanita cantik Ema Pepayosa br Ginting (19).

Kedua mempelai tersebut merupakan pengungsi, dimana Ismail pengungsi asal Desa Gung Pinto, Kecamatan Naman Teran, sedangkan Ema pengungsi dari Desa Biak Nampe, Kecamatan Munte.

Meski tidak ada ‘tenda biru’, pelaminan, resepsi tanpa penyambutan para undangan itu tetap berlangsung hikmah. Kedua mempelai menggunakan pakaian seadanya, duduk beralas tikar dibawah tenda pengungsian dikerumuni para pengungsi lainnya, petugas pencatat nikah Kecamatan Kabanjahe, Muhammad Nur bertindak sebagai penghulu memimpin proses ijab kabul hingga selesai.

Ahmad Joni Muslim, ayah dari Ema tampak terharu menyaksikan putrinya melangsungkan pernikahan di tenda pengungsian. Meski serba kekurangan, namun kedua orangtua pengantin telah memeprsiapakan yang terbaik untuk anak dan menantu mereka. Hal itu terlihat dari gaun pengantin wanita dan jemari tangan dan kakinya diberi inai berwarna merah. Begitu pula Ismail mengenakan kopiah, baju koko dan celana jeans warna biru, keduanya terlihat bahagia.

Ditemui di ‘tenda pengantin’, hubungan kedua sejoli itu ternyata cukup  berlangsung lama, empat tahun berpacaran dan lima bulan meremcanakan pernikahan yakni, sejak September 2013 lalu.

“Sinabung meletus dan sampai kini belum berhenti, kami semua terpaksa mengungsi. Karena waktu yang direncakan sudah begitu lama tidak terlaksana, akhirnya menikah dipengungsian saja. Mau bagaimana lagi? Gunung meletus,” tutur Ismail.

Tidak ada serah-serahan (pemberian/mahar), hanya saja Ismail memberikan sehelai kain sarung merk Wadimor sebagai mahar untuk istrinya Ema.

Selesai menjalani semua proses akan nikah, sepasang suami istri baru itu melakukan sungkem atau menyalami kepada kedua orangtua, saudara dan para pengungsi lainya.

Meski tidak ada hidangan berupa minum dan makanan sebagaimana layaknya orang berpesta, namun terlihat jelas sukaria dari raut wajah para pengungsi ikhlas memberikan ucapan dan doa kepada sepasang suami istri itu.

Tidak ada bulan madu atau rencana yang dapat dibuat keduanya, dan merekapun akan menjalani malam pertama dan bulan madunya di tenda pengungsian.

“Ya tetap dipengungsianlah, mau kemana lagi? Gunung meletus,” tutur Ismail menjawab pertanyaan wartawan ketika ditanya apa rencana keduanya setelah menikah.

Selesai proses akad nikah, Ismail dan Ema tampak kembali berbaur menyatu dengan sanak keluagra, sahabat, dan tetangga sesama pengungsi. Tidak ada yang istimewa dilalui keduanya, semuanya kembali berjalan sebagaimanan hidup dipengungsian.(ded)

 

 

 

 

Share