Selama ini, para penikmat sejarah mengenal Ken Arok sebagai sosok yang culas dan berperangai buruk. Sosok yang di kemudian hari dikenal sebagai perebut takhta dan kekuasaan yang dipimpin oleh Akuwu Tunggul Ametung, penguasa Tumapel yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri.
Tidak hanya itu. Ken Arok juga terpikat oleh kecantikan Ken Dedes, permaisuri Tunggul Ametung yang cantik jelita. Ia bermaksud merebut permaisuri itu dari tangan Tunggul Ametung. Namun begitu, niat itu tidak direstui oleh Lohgawe, seorang brahmana dari India yang datang ke Tanah Jawa untuk mencari titisan Wisnu.
Zhaenal Fanani, lewat epos Ken Arok; Cinta dan Takhta akan memaparkan kepada pembaca siapa sebenarnya Ken Arok yang selama ini dikenal sebagai perampok, penjudi dan penyamun itu. Lewat novel ini penulis ingin menegaskan bahwa, ada sisi-sisi menarik yang dimiliki Ken Arok selain kemasyhurannya sebagai orang jahat.
Ken Arok lahir dari seorang perempuan bernama Ken Ndok, seorang perempuan dari Desa Pangkur yang dipersunting oleh Resi Yogiswara. Namun, selama sepuluh tahun menikah, Ken Ndok tidak pernah disentuh oleh suaminya. Resi Yogiswara tidak pernah menunaikan tugasnya sebagai seorang suami. Sementara, Ken Ndok, sebagai perempuan normal mengaharapkan kasih sayang seorang suami.
Di antara kegelisahan dan kegalauannya, suatu hari Ken Ndok bertemu dengan Gajah Para, seorang laki-laki yang memberikan harapan kebahagiaan kepadanya. Di mata Ken Ndok, Gajah Para adalah sosok laki-laki yang baik dan perhatian. Hingga hubungan mereka berdua berlanjut ke hubungan yang “serius”. Ken Ndok hamil, sementara Gajah Para tidak siap dengan segala risiko yang akan dihadapi. Karena, dia tahu bahwa Ken Ndok adalah istri sah Resi Yogiswara (halaman 13).
Gajah Para pun meninggalkan Ken Ndok dalam keadaan hamil. Sementara itu, Ken Ndok semakin khawatir dan takut dengan keadaannya. Ia merasa bersalah telah mengkhianati suaminya. Ia tidak mungkin mengaku hamil, karena suaminya tidak sedikit pun menyentuhnya sejak perkawinannya sepuluh tahun silam.
Sebuah keputusan pun diambil oleh Ken Ndok. Pada suatu malam, dia memutuskan untuk meninggalkan padepokan suaminya. Ia membawa pergi janin yang dikandungnya. Hingga pada akhirnya, dari rahimnya lahir seorang anak laki-laki. Karena merasa tidak mungkin bisa merawat anak itu, akhirnya Ken Ndok meninggalkan anaknya di sebuah kompleks pekuburan (halaman 20-21).
Adalah Ki Lembong, laki-laki yang menemukan sosok bayi yang akhirnya diberi nama Temon itu. Di bawah asuhan Ki Lembong, Temon tumbuh sebagai pemuda yang kuat dan pemberani. Temon akhirnya mengikuti jejak pengasuhnya; menjadi perampok. Temon mengenal dunia hitam jauh sebelum menginjak dewasa. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Ki Lembong mengajak Temon menjarah dan mencuri barang orang lain (halaman 31).
Ki Lembong tahu bahwa tidak seharusnya ia menyeret Temon dalam jagat kehidupan kelam yang selama ini dijalaninya. Tapi, Ki Lembong sudah berpikir jauh, melebihi yang dipikirkan orang. Tampaknya Ki Lembong sudah memiliki firasat bahwa apa yang dijalani Temon bersamanya akan bermanfaat bagi Temon suatu saat kelak.
Akhirnya, Ki Lembong pun memberikan kebebasan kepada Temon untuk memilih kehidupan dan masa depannya. Ki Lembong sadar bahwa Temon bisa hidup mandiri tanpa harus hidup bersamanya lagi.
Semula Temon enggan meninggalkan Ki Lembong. Karena, dia sadar bahwa jasa Ki Lembong yang telah membesarkannya sangat besar. Ia tidak mau meninggalkan ayah angkatnya itu. Tapi, Temon harus bisa melaksanakan apa yang diharapkan oleh ayah angkatnya (halaman 36).
Temon akhirnya meninggalkan rumah Ki Lembong dan berjalan tanpa arah dan tujuan. Ia singgah ke beberapa wanua (desa) dan bertemu dengan Bango Samparan, seorang laki-laki penjudi. Karena melihat Temon sebagai pemuda yang berani, bahkan, Bango Samparan menganggap kehadiran Temon membawa keberuntungan, akhirnya Bango Samparan mengubah nama Temon menjadi Ken Arok. Menurutnya, nama Ken Arok lebih pantas disandang oleh seorang pemuda yang pemberani.
Selain mengisahkan asal-usul kehidupan Ken Arok, buku ini juga mengisahkan bagaimana perjalanan Ken Arok ketika harus berhadapan dengan kekuasaan dan kepempimpian di bawah kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung. Kisah perebutan kekuasaan di Tumapel dikisahkan penulis dengan jalinan cerita yang cukup memikat.
Kehadiran buku setebal 536 halaman yang diterbitkan Penerbit Tiga Serangkai ini akan menambah khazanah pengetahuan pembaca akan fakta sejarah yang terjadi berabad-abad silam, sebelum kerajaan Majapahit berdiri. [*]