e-Policing Menghilangkan Pemberi Budi dan Produk Hutang Budi

Ilustrasi
Ilustrasi

TRANSINDONESIA.CO – Kekuatan, kekuasaan, penguasaan dalam pegangan oleh kelompok-kelompok yang dibangun dari produk pendekatan personal merupakan lahan subur, tumbuh dan berkembangnya premanisme dalam birokrasi.

Premanisme birokrasi ini merupakan benalu bagi sebuah birokrasi, yang tidak hanya menyebabkan kontra produktif tetapi juga menjadi kanker yang dapat melumpuhkan bahkan mematikan sebuah institusi.

Produk-produk dari pendekatan personal ini boleh dikatakan sebagai produk “hutang budi” maka, standar bagi kinerjanya mau tidak mau akan mengarah kepada upaya-upaya balas budi.

Membalas budi dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya akan memanfaatkan kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya untuk menghasilkan sumber daya untuk dapat membalas budi dengan berbagai upaya untuk menyenangkan dan melayani para pemberi budi tadi.

Siapa pemberi budi? Pemberi budi bisa seseorang atau sekeompok orang yang mempunyai kekuatan baik secara struktural, fungsional maupun sosial untuk mengintervensi dalam memberikan atau mencabut kekuasaan (jabatan/kewenangan).

Para pemberi budi ini sudah memetakan kewenangan, atau kekuasaan yang menjadi idaman, atau dianggapnya strategis (lahan basah). Basah yang dimaksudkan dalam konteks ini dimaknai sebagai simbol kekuasaan yang bisa memeras, memungut sesuatu atau mendapatkan sesuatu dalam pekerjaanya.

Pemberi budi tidaklah sendiri, karena ia sendiri tidak mau tanganya kotor. Maka banyaklah tentakel-tentakel yang siap dan sanggup menggapai disemua arah dan lini.

Untk menjadi tentakel-tentakel juga harus teruji, memiliki nyali dan loyalitas terhadap pemberi budi. Bahkan, sanggup menjadi ganjel dan bumper kalau perlu hidup dan kehidupanyapun dipertaruhkan.

Mengapa tentakel itu sampai sedemikian militannya? Ini semua karena para pemberi budi sudah menjadi bintang penjuru yang dianggapnya sebagai “dewo kamanungsan” (dewa yang nampak) membutakan nalar dan budinya.

Pemberi-pemberi budi akan menampilkan sebagai sosok suci murni bersih tanpa noda. Walau di otak dan hatinya kumuh, penuh reka daya dalam memperebutkan sumber-sumber daya untuk selalu dalam gemgamanya. Rasa yang ada dihati dan pikiranya hanya bagaimana menggapai mengeruk sebanyak-banyaknya.

Pembagian-pembagian sebagai simbol budi hanya “nyoh, nyoh, nyoh” (sak encrit sak encrit)… ke dirinya langsung “nyuuuuooohhh buokk” (glodag).

Ia ingin seperti orang-orang yang disebut dalam babad, kitab-kitab kasik bahkan impianya tercatat dalam sejarah manusia dan peradabanya.

Para pemberi budi, memuja dunia dengan segala kekuasaanya. Kepatuhan dan loyalitas merupakan tuntutannya, dan ia sudah sangat memimpikan kata-katanya menjadi “sabda”. Doa Raja Midas yang didaraskanya menjadi lali jiwo, lupa hati, hilang rasa karena jiwa yang sudah digantikan oleh dunia dan kekuasaanya.

Rekayasa pekerjaanya, balas dendam kebanggaan dan prestasinya, merupakan hutang budi produk dan karyanya.

Menjadi pemberi budi bukanlah perkara mudah dan tidak gampang mencapai atau menduduki kursi pemberi budi.

Kebanyakan para pemberi budi juga produk-produk dari hutang budi, sehingga bagaikan “lingkaran setan” yang tidak ada ujung pangkalnya.

Para pemberi budi ini juga merupakan mantan-mantan tentakel yang gradenya naik dalam strata yang lebih tinggi, namun watak dan spiritnya tetap saja sama, yaitu memelihara atau melanggengkan sistem hutang budi.

Kebaikan-kebaikan si pemberi budi bukanlah kebaikan yang tulus atau humanis, melainkan kebaikan pamrih. Didasari ada keinginan-keinginan tertentu untuk pencitraan supaya tidak digolongkan jahat ataukejam.

Tanpa disadari, pemberi budi ini telah memupuk tumbuh dan berkembangnya korupsi dan menjadikan dirinya sebagai bagian dari otoritarianisme. Karena, siapa saja yang berani melawan, bertentangan bahkan hanya merasai saja bisa dimatikan karir, hidup dan penghidupanya. Yakni, dengan tidak lagi memberikan jabatan basah, karena berani membangkang dianggap orang yang tidak loyal, pura pura gila, munafik dan yang pasti dianggap duri dalam daging.

Bagaimana mengatasi narsisme pemberi budi yang merasa “dewa” pemurah hati?

Maka jawabannya tak lain adalah membangun sistem secara eelektronik yang menjadi salah satu “obat” mengikis otoritarianisme para pemberi budi. Ini akan menghambat laju pertumbuhan premanisme birokrasi, yang berarti dapat menghilangkan jabatan-jabatn basah dan mengembalikan pendekatan-pendekatan impersonal (berbasis kompetensi) sebagai landasan kinerja birokrasi.

Sistem yang dibangun adalah, sistem e-Policing yang memiliki pelayanan prima, cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses.

Itulah standar-standar yang harus dipenuhi dan dinilai dari keberhasilan seorang pemimpin yang transformatif, bukan pelaku otoritarianisme dan bukan pula menjadikan dirinya “narsis” sebagai pemberi budi.(CDL-Agst2014)

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share