Manusia dan Spiritualitas

TRANSINDONESIA.CO – Ibn al-‘Arabi menyebut 3 anasir diri manusia, yaitu ruh (bagian dari alam gaib), fisik/jasad (bag alam saahadah) dan jiwa (termasuk al barzakh).

Jism (jasad/fisik) merupakan unsur pertama dari penciptaan manusia yg diciptakan Allah dalam bentuk yang sangat sempurna (QS. 95:4). Jasad bersifat duniawi dan memiliki natur yang buruk karena ia merupakan penjara bagi ruh, ‘mengusik’ ketenangan ruh dalam beribadah dan tidak mampu mencapai makrifat kepada Allah. Kehidupannya bersifat ‘arad (accident) karena berdampingan dengan nafs (jiwa).

Unsur kedua diri manusia adalah nafs (jiwa) yang dalam Al Quran disebutkan dalam bentuk tunggal (yt. Nafs) sebanyak 116 kali dan dalam bentuk jamak, plural (yt. Anfus dan nufus) sebanyak 155 kali.

Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah, nafs merupakan sinar horizontal, artinya cahaya (nuur) Allah yg telah menyatu pada tubuh manusia yang bersifat naasuutiiyah (kemanusiaan) dan kemudian menimbulkan tingkah laku.

tulisan-ide

Ia merupakan sinergi antara jasad (fisik) dan ruh (psikis). Sinergi psikofisik ini menimbulkan tingkah laku, baik lahir maupun bathin. Nafs baru muncul dlm arti memiliki entitas tatkala jasad sudah disempurnakan oleh Allah dan kemudian Allah menghembuskan sebagian ruh-Nya kepada jasad (QS. 12:29).

Jiwa tidak murni cahaya, bukan pula murni kegelapan, namun substansi antara cahaya dan kegelapan (QS.91:7-10). Di dalam Al-Quran dinyatakan bahwa manusia yang derajatnya rendah adalah seperti hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat, mereka adalah orang-orang yang lalai (QS.7:179).

Nafs (jiwa) mempertemukan ruh dan jasad sehingga keduanya saling berinteraksi dan menghadirkan kesadaran dan persepsi dalam jumlah tak terbatas, maka wujud jiwa terletak diantara hembusan Ilahi (ruuh) dan tubuh (jasad) yang disempurnakan.

Jiwa dapat mati apabila ajal kehidupannya telah tiba. Al-Qadi Abu Bakar ibn al-Baqillani menjelaskan bahwa nafs itu adalah nyawa. Nafs memiliki 3 daya dan natur.

Pertama, kemampuan menerima stimulus dari luar yang berhubungan dengan pengenalan (kognisi). Kedua, kemampuan utk melahirkan apa yang terjadi pada jiwa yang berhubungan dengan motif dan kemauan (konasi). Ketiga, kemampuan melihat efek atau akibat dari stimulus yang kemudian menimbulkan keadaan (state) yang berhubungan dengan perasaan (emosi).

Ketiga daya nafs ini oleh Ki Hajar Dewantara disebut dengan istilah cipta (kognisi), rasa (emosi) dan karsa (konasi). Jika jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan setan, maka dia disebut jiwa yang berbuat jahat (nafs ammaarah bi al-suu; QS.12:53).

Jiwa yang selalu melakukan penentangan dan perlawanan terhadap sifat-sifat yang tercela, maka ia disebut jiwa pencela (nafs al-lawwaamah) karena ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan, teledor dan lalai (ghaflah) berbakti kepada Allah (QS.75:2). Jika jiwa dapat terhindar dari semua sifat tercela, maka ia berubah menjadi jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah; QS.89:27).

Unsur ketiga dalam diri manusia adalah ruuh, yang merupakan amr Allah dan hakikatnya hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Ruuh menurut al-Asfahaani, adalah nama induk dari nafs. Ruuh adalah genus dan nafs adalah speciesnya. Ruuh adalah unsur yang menjadikan nafs dapat hidup.

Dengan demikian, ruuh adalah dasar dan sumber kehidupan seorang anak manusia. Menurut Al-Quran dalam surah Al-A’raf (7) : 172, ruuh sudah memiliki kehidupan jauh sebelum tubuh fisik manusia ada.

Ayat ini, berkaitan dengan asrar alast (rahasia hari alastu) dimana Allah telah memberikan perjanjian ketuhanan kepada seluruh ruh manusia. Ayat ini berkaitan dengan ruuh di alam perjanjian (‘alam miithaaq) atau alam pertunjukkan pertama (‘alam al-‘ard al-awwal).

Pada prinsipnya, ruuh memiliki natur yg suci, baik dan bersifat ukhrawi. Ruuh merupakan substansi samawi yang hidup melalui zatnya sendiri yang tidak membutuhkan makan, minum serta kebutuhan jasmani lainnya. Penciptaan ruuh dilakukan sekaligus (daf’atan waahidatan) yaitu tidak melalui proses penciptaan jasad, sehingga ruuh tidak hancur seperti kehancuran jasad.

Ruuh bersifat kekal, bahkan ia sudah ada jauh sebelum adanya jasad. Ruuh dinisbatkan kepada Allah dan memiliki semua karakteristik dari realitas, seperti bercahaya, halus dan satu.

Berbicara tentang ruuh berarti berbicara tentang dimensi mikrokosmos manusia yang berpembawaan bercahaya, hidup, mengetahui, sadar dan cerdas. Menurut QS.32:9, ruuh berasal dari ‘nafas’ Tuhan, yang di tiupkan dengan kelembutan dan kasih sayang-Nya. Ia merupakan realitas non senyawa yang secara bawaan memiliki semua sifat Tuhan.

Oleh karenanya, secara alami ruuh itu hidup, bersinar, mengetahui, berkuasa dan berkehendak. Ruuh merepresentasikan status manifestasi langsung Tuhan.

Dengan demikian, ruuh bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat materi. Ia merupakan qudrah al-Ilaahiiyah (daya ketuhanan) yang tercipta dari alam perintah (‘alam al-amr), sehingga sifatnya bukan jasadi. Ruuh merupakan sesuatu yang halus (latifah) yang bersifat ruhani. Ia dapat berfikir, mengingat, mengetahui, merasa dan sebagainya.

Ia juga merupakan sumber bergerak bagi keberadaan jasad. Ruuh bersifat cahaya (al-nuuriiyah), ruhani (al-ruuhaniiyah) dan bersifat ketuhanan (al-lahuutiiyah).

Ruuh merupakan sinar vertikal, artinya sinar (nuur) Allah yang telah diberikan kepada diri manusia secara langsung.

Ruuh disebut juga dengan qalb (hati) karena huduur al-qalb dimaknakan juga dengan kehadiran ruuh. Ruuh memiliki dimensi tinggi dan mulia, yang tidak dimiliki oleh jiwa, apalagi fisik (badan). Ruuhlah yang menjadi sumber kehidupan  bagi diri.

[Dr.M Iqbal Irham,M.Ag – Diringkas oleh Ide Suprihatien]

Share