Catatan atas 4 Program Strategis Menteri Sofyan Jalil [3]: Hak Pakai setara dengan HGB?
TRANSINDONESIA.CO – Setakat berbicara pada helat Indonesia Property & Bank Award (IPBA) 2016, Menteri ATR? Kepala BPN Sofyan Jalil menuturkan perlunya tambahan aturan kepemilikan properti bagi orang asing sehingga bisa berjalan efektif. Dia mengatakan segera membuat surat edaran yang menegaskan bahwa Hak Pakai untuk Orang Asing itu sama derajat dengan Hak Guna Bangunan (HGB).
Patut diajukan klarifikasi maksudnya menyamakan derajat Hak Pakai (HP) dengan HGB? Bukankah UUPA sudah jelas membedakan antara HP dengan HGB? Pembedaan itu bukan semata istilah saja, namun ada soal mendasar melekat di dalamnya. Yakni, perihal azas nasionalitas yang pembeda antara UUPA dengan Agrarish Wet versi kolonial Belanda.
Dalam UUPA bahwa HGB seperti halnya Hak Milik (HM) dan Hak Guna Usaha (HGU) haya dimiliki orang Indonesia dan WNI. Tidak boleh WNA atau badan hukum asing.
Berbeda dengan HP yang bisa dimiliki bukan orang Indonesia dan bukan badan hukum Indonesia. Jadi, ada azas yang historis dan fundamental yang membedakan HGB dengan HP, yanG azas nasionalitas.
Lantas, jika bermaksud menyamakan derajat HP dengan HGB, apakah menyamakan jenis hak atau recht titel-nya? Atau kemudian bermuara kepada tidak diperlukannya lagi HGB? Jika demikian, hal itu ahistoris dan melawan azas nasionalitas dalam UUPA.
Kalau soalnya HP dianggap tidak menarik bagi orang asing dan tidak komersial bagiperbankan, apakah Menteri ATR/Ka.BPN hendak menyatakan bahwa HP tidak transfereble dan tidak bankable/securable? Kalau demikian, perlu dijelaskan bahwa HP itu transferable dan bankable/securable. Mengapa?
Merujuk UUPA, HP dapat diberikan bagi orang asing penduduk Indonesia. Artinya, UUPA tidak anti pemilikan tanah bagi orang asing namun dengan HP. Masih merujuk UUPA, bahwa HM, HGB, HGU terikat dengan azas nasionalitas sehingga tertutup bagi WNA.
Menurut Pasal 42 UUPA, HP dapat diberikan kepada 4 (empat) kelompok, yakni WNI, orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Namun, menurut UUPA ada pembatasan atas HP yakni hanya untuk dua hal yakni menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah. Jangka waktu berapa lama? Jangka waktu HP tidak diterakan dalam UUPA. Berbeda dengan HGB dan HGU yang diterakan eksplisit jangka waktunya. Ikhwal jangka waktu HP, dalam UUPA hanya disebutkan: ‘jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu'(vide Pasal 41 ayat 1 UUPA).
Jadi, UUPA tidak melarang jika regulator mengatur jangka waktu HP dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang derajatnya dibawah Undang-undang. Setakat ini, jangka waktu HP dalam PP No.40 Tahun 1996 adalah paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun (25+20).
Jadi, lebih singkat dari HGB (30+20 tahun), dan HGU (25 atau maksimum 35+25 tahun). Namun, PP No.40 Tahun 1996 memungkinkan pembaharuan HP (Pasal 45 ayat 2 PP No. 40 Tahun 1996).
Ikhwal meminta tambahan jangka waktu HP tergantung pada kebijakan hukum (legal policy) dan justifikasi Pemerintah. Bisa karena motif kebijakan ekonomi, ekstensifikasi pajak properti atau kemanfataan lain. Andai menambah jangka waktu HP, hemat penulis tidak lebih panjang dari jangka waktu HGB atau HGU.
Bandingkan dengan PP No. 103 Tahun 2015 yang menentukan jangka waktu HP lebih lama dari PP No. 40 Tahun 1996. Namun dengan menggunakan frasa Hak Pakai untuk Rumah Tunggal. Merujuk 5 PP No. 103 tahun 2015,
Orang Asing diberikan Hak Pakai untuk Rumah Tunggal (sebut saja “HPuRT”) pembelian baru dan Hak Milik atas Sarusun di atas Hak Pakai (“HMSRS di atas HP”) untuk Sarusun pembelian unit baru. Pasal 6 PP No. 103 Tahun 2015, Rumah Tunggal yang diberikan di atas tanah HP diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. Jika jangka waktu perpanjangan berakhir, HP dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun.
Ringkasnya: jangka waktu HPuRT (30+20 tahun) dan pembaruan HP (30 tahun). Jadi, dari sisi jangka waktu HGB (30+20 tahun) yang jika dibandingkan dengan HPuRT bagi Orang Asing (30+20 tahun), belum termasuk jika diberikan pembaruan HP (30 tahun).
Dari sisi jangka waktu, HGB yang disyaratkan azas nasionalitas kua normatif sama dengan jangka waktu HPuRT bagi Orang Asing. Yang berbeda tinggal hanya recht titel-nya saja. Namun, perlu klarifikasi karena jangkawa waktu HP versi PP No. 40 Tahun 1996 masih berlaku dan belum dicabut, sehingga ada perbedaan normatif keduanya.
Lantas, jika jangka waktu HGB dengan HPuRT bagi Orang Asing sudah sama, selain berbeda azas nasioalitas, apalagi yang hendak disetarakan? Bukan status hukum recht titel- nya namun perlakuan dan akseptasi sektor keuangan terhadap HP itu sendiri yang belum sama dengan HGU. Di titik itulah batas wilayah yang bukan otoritas sektor agraria dan pertanahan lagi. Walau masih bisa disinkronisasikan.
Penulis: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekrearis Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute]