Mental Ndoro dan Ganjel Birokrasi
TRANSINDONESIA.CO – Mental ndoro dalam birokrasi kedengarannya aneh di era reformasi masih ada gaya-gaya feodal. Sehari-sehari dapat dilihat mulai dari kinerja dan perilaku organisasinya sikap dan gaya feodal mewarnai dan menjadi core valuenya.
Dari pendelegasian tugas dan cara-cara memerintah, biasanya berisi kalimat-kalimat pendek tanpa petunjuk dan secara berjenjang terus mengalir hingga mentok di level yang tidak bisa lagi mengalir.
Pada level itulah mulai dikerjakan dan saat akan disahkan kembali merayap naik ke atas secara berjenjang.
Pimpinan bukan lagi kreator, melainkan korektor. Parahnya lagi yang dikoreksi bukan konten atau esensi dari apa yang semestinya dilakukan melainkan gaya bahasanya. Yang merefleksikan sikap memuja dan tak jarang mengkultuskan. Sikap ini tanpa disadari terus dipertahankan dan menjadi kebanggaannya.
Laksanakan, penuhi, hadiri, segera, sesuaikan dengan disposisi “ka” (ikuti perintah pimpinan), acc, ok….dan sebagainya. Sepenggal kalimat di atas memang cukup sakti dan sepertinya masih terus dilakukan seakan-akan terus diabadikan.
Itu dari sisi perintah dalam surat menyurat. Dalam perintah tugas-tugas tertentu, perintah lisan pimpinan menjadi landasan dan bagi bawahan akan membuat kesepakatan-kesepakatan untuk menjabarkannya. Ndoro cant do no wrong, apapun kebijakan ndoro dianggap sebagai sesuatu kebenaran dan senantiasa dibenar-benarkan.
Gaya feodal dalam birokrasi merupakan penyakit-penyakit yang tidak disadari kebiasaan melempar tugas secara berjenjang menjadi hal biasa. Tidak hanya dalam surat, dalam pekerjaan-pekerjaan teknispun dilakukan, sehingga munculah karban (karyawan bantuan), PHL (pegawai harian lepas), dan lainnya yang sejenis.
Para pegawai lepas inpun akan meniru ndoronya akan membawa orang-orang lain yang terus menumpuk dan menjadi fondasi kekuatan birokrasi. Saat ada inspeksi mereka akan dibubarkan sementara dan saat inspeksi selesai mereka kembali menjadi ganjel birokrasi.[CDL-07032016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana