TRANSINDONESIA.CO – Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, menyatakan status tersangka mantan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, meupakan kelalaian penyidik.
“Ya kelalaian, itu mengirim SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) terlambat. Konsekuensinya, penyidik kami tegur,” kata Badrodin di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, Senin (26/10/2015).
DIkatakannya, penyidik membuat SPDP sebagai syarat untuk memanggil saksi. Untuk memanggil saksi-saksi, penyidik harus terlebih dulu menaikkan sebuah kasus ke tahap penyidikan.
Langkah itu penting untuk menghindari gugatan praperadilan dari pihak yang nantinya ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, tersangka kelak bisa menggugat untuk mencabut status hukumnya seandainya syarat tersebut tidak terpenuhi.
Namun, kelalaian terjadi saat SPDP yang telah disiapkan, tidak langsung dikirimkan ke Kejaksaan oleh penyidik. “Semestinya SPDP itu dikirim sejak awal,” kata Badrodin.
Surat tersebut, kata dia, tidak segera dikirimkan ke Kejaksaan lantaran penyidik belum menemui titik terang atas perkara yang dilaporkan sejak Mei itu.
Pada 25 September, penyidik melakukan gelar perkara dan memutuskan tidak ada tindak pidana yang ditemukan. Berdasarkan hasil gelar itu, maka polisi memutuskan untuk menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“Tapi akan timbul persoalan kalau dihentikan saat SPDP belum dikirim ke Kejaksaan. Maka dikirim pada 29 September,” kata Badrodin.
Hanya saja, sejak 22 September Polri sudah memutasi Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Timur yang bertugas menangani kasus tersebut. Penggantinya, kata Badrodin, belum bertugas karena masih menjalankan ibadah naik haji.
Saat itulah muncul informasi dari Kejaksaan yang menyebut nama Risma tercantum dalam SPDP. “Ini jelas nama tersangka harus disebutkan. Kalau tidak disebutkan, bisa dipraperadilankan,” kata Badrodin.(Cnn/Dod)