Besok 3 Pakar Hukum Gugat UU Polri ke MK

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indraya.(ist)
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indraya.(ist)

TRANSINDONESIA.CO – Polemik tentang pergantian Kapolri berkembang menjadi masalah politik hukum yang mengarah pada konflik antar dua lembaga penegak hukum yakni Polri dan KPK.

Sejumlah pakar hukum merasa ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki dalam aturan pengangkatan dan pemberhentian yang diatur Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Atas alasan itu, 3 pakar hukum yakni Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Denny Indrayana, Guru Besar Universitas Andalas Prof Saldi Isra dan dosen Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar mengajukan gugatan tentang UU Kepolisian ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU itu dinilai melanggar konstitusi hak prerogatif presiden dalam pemilihan Kapolri.

“Mencermati dinamika politik hukum terkait pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang berkembang sangat cepat, dan bisa mengarah pada konflik di antara KPK dan Polri, maka kami dengan ini mengambil langkah untuk mendorong pengujian konstitusionalitas UU Polri, khususnya ketentuan yang membatasi Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri, karena harus mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 11 ayat (1) UU Polri Nomor 2 Tahun 2002,” ujar Denny dalam keterangan bersamanya, kepada pers di Jakarta, Kamis (22/1/2015).

Dikatakan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era Presiden SBY itu, berdasarkan perubahan UUD 1945, harusnya pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial.

“Aneh bin ajaibnya, sebenarnya Presiden sudah tidak lagi mempunyai hak prerogatif, sebagaimana seharusnya dimiliki kepala negara dan kepala pemerintahan dalam sistem presidensial,” ujar Denny.

Ia mengatakan, dalam pengangkatan kabinet, Presiden dibatasi UU Kementerian Negara; dalam pengangkatan Kapolri dan Panglima TNI, Presiden harus mendapatkan persetujuan DPR; dalam penunjukan duta besar, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR; dan lain-lain.

“Inilah sistem Presidensial zero prerogatif. Suatu, kesalahan sistem yang sangat mendasar. Untuk itu, agar sistem presidensial kita kembali ke khittahnya, maka dengan ini kami mendorong pengajuan konstitusionalitas persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri (Panglima TNI) ke Mahkamah Konstitusi,” terang Denny.

Denny mengatakan, gugatan ke MK terhadap UU tersebut untuk menyelamatkan Presiden, KPK dan Polri dengan mengembalikan hak prerogatif, sehingga sistem presidensial betul-betul sejalan dengan UUD 1945, dan Presiden dapat lebih leluasa mengangkat dan memberhentikan Kapolri. “Tanpa terbatasi ataupun terbelenggu oleh kepentingan politik sesaat yang cenderung koruptif,” tuturnya.

Ia mengatakan, permohonan uji materi tersebut akan didaftarkan pada Jumat (23/1/2014) besok ke MK.

“Kami mengundang setiap orang, lembaga yang punya aspirasi yang sama dan legal standing untuk bergabung menjadi Pemohon pengujian konstitusionalitas ini. Mari kita selamatkan Presiden, KPK dan Polri dari politisasi. Mari Kita selamatkan Indonesia,” ujar Denny.(pi/dod)

Share