TRANSINDONESIA.CO – Manager Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng), Aryo Nigroho Waluyo mengatakan 12,8 juta hektare atau 78 persen lahan di daerah itu dikuasai sektor pertambangan dan perkebunan sawit.
“Eksploitasi dan penguasaan lahan yang mencapai 12,8 juta hektare atau 78 persen lebih dominan dikuasai perkebunan sawit, pertambangan dan konsensi kehutanan melalui izin IUPHK HA dan Hutan Tanaman,” kata Aryo di Palangka Raya, Minggu (2/11/2014).
Ia mengungkapkan, dengan penguasaan lahan tersebut telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, kerugian negara, konflik dan bencana ekologi di wilayah itu.
Sehingga kata dia berujung pada menurunnya kualitas hidup dan lingkungan yang tidak terpulihkan secara berkelanjutan.
“Karut-marut tata kelola sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, dimana kendali dan kontrol investasi yang didukung oleh sektoralisasi kelembagaan pemerintah yang berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam telah mengabaikan keberlanjutan lingkungan,” ucapnya.
Pihaknya menilai, kontrol investasi yang berkolaborasi dengan kepentingan politik telah mengabaikan aspek-aspek keberlanjutan bahkan dengan sengaja melanggar tanpa bisa disentuh oleh upaya penegakan hukum.
Provinsi Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi yang memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, dimana Kalteng tercatat sebagai provinsi terbesar kedua dengan luasan daratannya mencapai 15,3 juta dimana 12,7 juta merupakan kawasan hutan.
Dan kondisi ini seharusnya lebih memberikan kontribusi lebih terhadap kesejahteraan masyarakat setempat, bukan dengan sebaliknya hanya untuk kepentingan pribadi dan politik semata bagi para investasi maupun lembaga pemerintah.
Manager Pembelaan Hukum Walhi Nasional, Muhnur Satya Prabu mengatakan konflik masih terus bertambah karena monopoli lahan melalui investasi dengan kontrol izin yang diberikan pemerintah mengakibatkan perampasan lahan bagi komunitas masyarakat yang mengandalkan tanah dan lahan sebagai sumber penghidupannya.
“Upaya penegakan hukum menjadi hal yang terpenting, namun delik hukum yang digunakan oleh penegak hukum dari tingkat penuntutan hingga putusan di pengadilan belum mencerminkan rasa keadilan dan member efek jera bagi perusak lingkungan,” kata Muhnur Satya Prabu.(ant/tan)