FAO: Perempuan Lebih Rawan Alami Kekurangan Pangan
Dunia menghadapi tantangan kerawanan pangan saat ini. Perempuan, berada dalam kondisi lebih buruk, dan karena itu perlu perhatian lebih. Digitalisasi pertanian dianggap menjadi salah satu jawaban.
TRANSINDONESIA.co | Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, Food and Agriculture Organization (FAO), Dr Qu Dongyu, mengatakan saat ini dunia menghadapi tantangan yang kompleks yang menyebabkan guncangan dan penurunan ekonomi. Tantangan tersebut di antaranya adalah konflik dan perang, keadaan darurat kemanusiaan, dampak krisis iklim dan pandemi COVID-19.
Di sisi lain, kata Dongyu, permasalahan itu ternyata tumpang tindih dengan sejumlah isu sosial lainnya, seperti kelaparan, kerawanan pangan, dan kekurangan gizi yang terus-menerus dan bahkan memburuk selama beberapa bulan dan tahun terakhir. Data FAO menunjukkan terdapat 828 juta orang yang mengalami kelaparan pada 2021. Jumlah itu 46 juta orang lebih banyak dari angka 2020, dan 150 juta lebih banyak dari 2019.
“Dan secara global, kesenjangan antara perempuan dan laki-laki meningkat, dengan 150 juta lebih banyak perempuan yang rawan pangan daripada laki-laki. Kita perlu menanggapi secara kolektif dan efektif tantangan global dan regional ini. Dan kita harus bekerja sama untuk membuat sistem pangan pertanian kita lebih efisien, lebih inklusif, lebih tangguh, dan lebih berkelanjutan,” kata Dongyu, Selasa (27/9).
Dongyu berpidato dalam Pertemuan Menteri Pertanian G20 di Bali, yang mengambil tema besar, Peran Transformasi Digital dalam Percepatan Kewirausahaan Perempuan dan Pemuda.
Jawaban tantangan itu, lanjut Dongyu, adalah digitalisasi untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan sistem pangan pertanian secara inklusif.
“Transformasi digital membuka peluang penting untuk mempercepat peluang bisnis perempuan dan pemuda di seluruh sistem pangan pertanian, untuk mengambil langkah nyata untuk mengakhiri kelaparan dan kemiskinan,” ujarnya beralasan.
Dongyu menyebut digitalisasi berperan mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Caranya, dengan mendiversifikasi pendapatan, membuka lapangan kerja, dan peluang bisnis di dalam dan di luar sektor.
Salah satu prioritas G20, kata dia, adalah memastikan akses yang sama ke konektivitas dan digitalisasi untuk semua pihak. G20 juga harus memastikan, bahwa negara-negara berkembang, terutama perempuan dan pemuda, tidak tertinggal dalam lansekap digital global yang bergerak cepat.
“FAO menyadari perlunya transformasi digital yang inklusif, serta pentingnya memastikan akses yang inklusif dan adil ke teknologi digital untuk semua, dengan mengembangkan komunitas pedesaan yang terampil secara digital,” ucapnya.
“Melalui solusi digital, dunia dapat pulih bersama dengan cepat, lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih hijau untuk pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,” lanjut Dongyu.
Ia optimis bahwa teknologi digital dapat membantu sistem pangan pertanian memenuhi permintaan makanan aman dan bergizi yang meningkat dan mengelola sumber daya alam dengan lebih baik. Selain itu, digitalisasi juga berkontribusi pada pertumbuhan produktivitas berkualitas tinggi, dan memastikan inklusi ekonomi kelompok terpinggirkan, perempuan dan pemuda, untuk memperkuat keterlibatan mereka secara produktif di sektor ini.
Tiga Isu Prioritas Indonesia
Dalam presidensi Indonesia di G20 pada tahun ini, kelompok kerja pertanian bersepakat menetapkan tema keseimbangan antara produksi dan perdagangan pangan, untuk menjamin kecukupan pangan bagi semua.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, dalam acara yang sama mengatakan, Indonesia menjabarkan tema besar itu dalam tiga isu prioritas.
“Yang pertama, membangun sistem pertanian dan pangan yang resiliens dan berkelanjutan. Pangan adalah human rights, tidak boleh ada halangan kalau itu berkait dengan masalah kemanusiaan,” kata Syahrul.
Dunia, kata Syahrul, menghadapi situasi yang tidak dapat diprediksi saat ini. Seluruh menteri pertanian negara G20 harus bekerja sama mencari jawaban dari tantangan yang dihadapi dunia.
“Yang kedua, mempromosikan perdagangan pangan yang terbuka, adil, mampu diprediksi dan lebih transparan,” lanjut Syahrul.
Indonesia menawarkan kerja sama lebih erat untuk menjawab tantangan yang muncul. Tahun ini, kata Syahrul, banyak negara mungkin masih bisa mengatasi tantangan yang ada. Namun, tidak ada kepastian bahwa tahun depan situasi akan sama.
Selanjutnya, agenda ketiga Indonesia adalah mendorong kewirausahaan yang inovatif melalui pertanian digital untuk meningkatkan taraf hidup petani, khususnya di pedesaan.
“Digital sistem sudah harus kita buka. Antara negara G20, mari kita bicara. Kita punya lahan, kita punya ekosistem, kita punya kekuatan dan potensi masing-masing berbeda, tapi saling membutuhkan,” lanjut Syahrul di hadapan semua menteri pertanian negara-negara G20 yang hadir.
Transformasi pertanian digital dan percepatan kewirausahaan perempuan dan pemuda dibicarakan di Bali selama tiga hari. Tema ini diharapkan memberi gambaran holistik, mengenai kebijakan dan upaya yang perlu dilakukan untuk mendukung kewirausahaan kaum muda dan perempuan di bidang pertanian khususnya, melalui pertanian digital
“Mari kita bicarakan, sehingga rantai pasok dan segala rintangan dari perdagangan kita bisa diselesaikan dalam forum yang ada. Mari kita bicarakan yang bisa mempersatukan kita, dan tentu saja kita berharap perbedaan-perbedaan bisa kita selesaikan dalam waktu yang sangat singkat,” tegasnya. [voa]