Kembali Menjadi Anggota Dewan IMO Kategori C, Indonesia Harus Mampu Perjuangkan Kedaulatan Maritim

TRANSINDONESIA.co | Indonesia terpilih kembali menjadi  Anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) Kategori C dalam Sidang Majelis IMO ke-32 di London Jumat (10/12).

Indonesia menjadi anggota Dewan IMO Kategori C Periode Tahun 2022-2023, setelah sebelumnya terpilih untuk periode 2020-2021 mendapat tanggapan positif dari Pengamat Maritim yang juga salah satu Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, SSiT., M.Mar.

Menurut Capt. Hakeng pada media, Senin (20/12/2021), Indonesia dapat terpilih kembali menjadi anggota Dewan IMO Kategori C merupakan suatu nilai positif bagi sektor kemaritiman Indonesia. Ini juga merupakan upaya dan menjadi salah satu pencapaian Indonesia dalam mengembalikan kejayaan maritim, untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

“Dunia mengakui keberadaan Indonesia di sektor maritim Internasional. Indonesia sebagai poros maritim dunia yang tidak bisa diabaikan posisi strategisnya bagi dunia pelayaran,” katanya.

Selain itu kata Capt. Hakeng lagi, saat ini jalur laut Indonesia masih menjadi pilihan utama di dunia. Apalagi dengan letak geografisnya yang strategis, sehingga sampai sekarang wilayah laut Indonesia masih menjadi trek perlintasan maritim yang tersibuk di dunia. Rute maritim Indonesia saat ini dapat dikatakan mempunyai kesamaan dengan rute perdagangan rempah-rempah nusantara di masa dahulu.

“Rute laut ini juga yang dipakai oleh para pelaut pejuang kedaulatan energi untuk menyalurkan kebutuhan energi, seperti minyak dan gas bagi masyarakat yang ada di seluruh Indonesia, yang berada di pulau-pulau yang sulit dijangkau melalui transportasi darat ataupun udara,” katanya.

Pengakuan IMO kepada Indonesia menjadi anggota Dewan Kategori C,  juga dapat dijadikan sebagai momentum bagi rakyat Indonesia untuk kembali mencintai budaya bahari Indonesia seperti yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, lanjut Capt. Hakeng.

“Ini bisa kita jadikan momentum bagi seluruh rakyat Indonesia bukan hanya yang tinggal di pesisir laut untuk kembali mencintai budaya bahari. Laut bukan dijadikan sebagai tempat sampah untuk orang yang tidak berguna, seperti anekdot yang sering diucapkan di masyarakat yakni ‘ke laut aja’. Dan, kenyataannya juga laut jangan dijadikan lokasi pembuangan sampah dari rumah tangga ataupun pabrik. Laut merupakan sumber pangan ikan bagi rakyat indonesia,” tegasnya.

Sejarah juga telah menunjukkan bahwa nenek moyang kita juga tangguh di lautan. Sebut saja di masa Sriwijaya dan Majapahit maju disebabkan tata kelola di bidang kemaritiman kala itu sudah maju. Kedua kerajaan itu runtuh karena pada saat itu pihak Kolonial Belanda menjajah Indonesia untuk menguasai perdagangan rempah-rempah yang begitu diminati di negara eropa.

Kejayaan Nusantara di kemaritiman itu yang mungkin mendorong pemerintahan Presiden Joko Widodo menginginkan Indonesia menjadi poros maritim dunia. Karena menggunakan kekayaan maritim untuk kesejahteraan rakyat.

Lebih lanjut bagi Capt. Hakeng yang juga salah seorang pendiri AKKMI bahwa pihaknya menyambut baik dengan keberhasilan Indonesia di  anggota Dewan IMO Kategori C. Karena ini merupakan kesempatan Indonesia ikut serta dalam menentukan kebijakan kemaritiman dunia.

“Dengan menjadi anggota Dewan IMO Kategori C itu membuat Indonesia dapat ikut serta dalam menyusun kebijakan maritim internasional. IMO  merupakan perwakilan dari negara-negara yang mempunyai kepentingan khusus dalam transportasi laut dan maritim serta mewakili semua wilayah geografis utama dunia,” tuturnya.

Capt. Hakeng juga menaruh harap besar dengan Indonesia menjadi anggota Dewan IMO Kategori C untuk lebih dapat menjaga keamanan perairan dan keselamatan. Apalagi Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia.

Keanggotaan Indonesia pada IMO dapat dimanfaatkan pula untuk mengusulkan kepada IMO bahwa ini bukan saat tepat untuk menerapkan teknologi kapal tanpa awak.

“Ini menjadi tanggung jawab kita guna menjelaskan ke stakeholder-stakeholder terkait keberadaan kapal tanpa awak bila disetujui penggunaannya di Indonesia. Karena Indonesia negara kepulauan serta mempunyai pelaut yang jumlahnya banyak dan bekerja tersebar di dunia,” katanya.

Alasan lain yang diungkapkan Capt. Hakeng, para pelaut Indonesia merupakan pahlawan devisa negara. Jadi, eksistensinya dalam dunia pekerjaan harus dipertahankan. Data dari Kementerian Perhubungan per tanggal 8 Februari 2021, ada hampir 1,2 juta pelaut Indonesia baik yang bekerja di kapal Niaga maupun kapal Perikanan. Dari jumlah tersebut, ILO (International Labour Organization) mencatat bahwa Indonesia adalah penyuplai pekerja perikanan No. 1 di Dunia.

Penerimaan negara dari pelaut juga tidak bisa dikatakan sedikit. Tercatat potensi penerimaan negara dari pelaut Indonesia di luar negeri mencapai sekitar Rp 151,2 triliun setahun. Perkiraan perhitungan itu didapat dari rata-rata gaji pelaut Indonesia di luar negeri sebesar USD 750 atau setara Rp 10,5 juta per bulan. Jumlah itu dikalikan jumlah pelaut sebanyak 1,2 juta orang per Februari 2021 dan dikalikan 12 bulan.

Kehadiran MASS bisa mengakibatkan munculnya masalah terhadap pengurangan tenaga kerja di sektor kemaritiman. Capt. Hakeng mengingatkan, Indonesia akan dihadapkan pada persoalan masa depan, yaitu bonus demografi pada 2030. Artinya, jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar. Indonesia perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatan lapangan kerja.

“Semua pihak harus segera menyadari untuk bisa mengedepankan pengembangan Industri padat karya yang berintegrasi dengan teknologi, bukan malah mengedepankan pengembangan teknologi yang meminimalisasi jumlah pekerja. Jangan sampai bonus demografi malah menjadi bencana demografi bagi Bangsa Indonesia,” tutup Capt. Hakeng. (*)

Share