Senjata Polisi “Pejuang Kemanusiaan” Bukan Bedil Tapi Simpati Masyarakat
TRANSINDONESIA.CO – Aksi demonstrasi memprotes kekerasan polisi terhadap seorang warga kulit hitam di Minneapolis, yang membuatnya meninggal dalam proses penahanan, bergulir menjadi kerusuhan. Warga yang marah mengepung sebuah kantor polisi, menjarah toko-toko dan membakarnya. Walikota meminta gubernur negara bagian itu untuk segera mengirim pasukan Garda Nasional guna mengatasi demonstrasi dan kerusuhan bernuansa SARA itu.
Demonstrasi dan kerusuhan yang berawal Rabu malam (27/5/2020) dan terus bergulir hingga Kamis pagi (28/5/2020) itu merupakan yang terburuk sejak terjadinya aksi protes pasca kematian George Floyd. Video yang diambil sejumlah pejalan kaki dan juga yang berasal dari kamera CCTV di sekitar lokasi penangkapannya menunjukkan Floyd, laki-laki berkulit hitam yang berusia 46 tahun itu, ditelikung dan ditempatkan dalam posisi tengkurap di tanah, di sebelah mobil polisi, dengan kedua tangan diborgol, sementara seorang polisi menekan lehernya dengan lutut.
Pejuang Kemanusiaan
Peristiwa di atas memicu banyak opini dan berdampak konflik sosial. Polisi dibangun untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial. Yang dapat dilihat sebagai institusi, sebagai fungsi dan sebagai petugas.
Keteraturan sosial di sini dapat dimaknai lagi pada terjaminnya keamanan dan rasa aman. Polisi bekerja pada ranah birokrasi dan ranah masyarakat. Benang merah dari ranah tersebut adalah pemolisian atau policing yang dapat ditunjukkan bahwa keberadaan polisi untuk:
1. Mengatasi dan menangani masalah sosial yang berdampak pada keteraturan sosial.
2. Menangani kejahatan dan pencegahannya dengan cara yang tetap berbasis pada supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan ham, tranparansi dan akuntabel, berorientasi pada upaya peningkatan kualitas hidup dan adanya pembatasan dan pengawasan kewenangan kepolisian.
3. Penegak hukum dan keadilan inilah kintek pada humanisme dan peradaban.
4. Menangani issue issue penting yang terjadi dalam masyarakat.
Di dalam menangani point point di atas polisi diharapkan mampu menjadi pihak ketiga yang dipercaya dan mampu menjembatani untuk mengatasi berbagai masalah.
Polisi melalui pemolisiannya berbasi; 1. Kewilayahan atau secara geografis, 2. Fungsi atau interest yang batasannya bukan wilayah melainkan pada fungsionalnya atau interestnya, 3. Dampak masalah, walaupun akar masalahnya bukan urusan kepolisian namun ketika menjadi konflik akan menjadi urusan kepolisian. Ini yang digerakkan lintas wilayah lintas fungsi dan lintas stake holder.
Polisi dengan pemolisiannya memiliki tugas dan tanggung jawab agar keberadaannya mampu untuk nguwongke (mengangkat harkat martabat manusia) yang ditunjukkan dalam pemolisiannya sebagai berikut:
1. Polisi mampu menunjukkan sebagai penjaga kehidupan; keberadaan polisi adalah mampu menjamin keamanan dan rasa aman sehingga warga masyarakat dapat beraktifitas untuk berproduksi. Produktifitas tersebut membuat masyarakat dapat bertahan hidup tumbuh dan berkembang.
Polisi sebagai co producer tidak bermain-main dengan hal hal yang ilegal dan tidak membiarkan penyimpangan yang contra productive (tidak terima suap dan tidak melakukan pemerasan).
2. Polisi sebagai pembangun peradaban di mana keberadaan Polisi sebagai penegak hukum dan keadilan (Hukum sebagai simbol peradaban) dalam proses penegakkannya adalah untuk; menyelesaikan konflik secara beradab. Mencegah agar jangan terjadi konflik yang lebih luas. Membangun budaya tertib. Agar ada kepastian. Bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa.
3. Polisi sebagai pejuang kemanusiaan. Walaupun dengan upaya paksa sekalipun konteks humanisme ini yang menjadi dasar yaitu pada produktifitas dan peradaban serta keteraturan sosial sehingga segala usaha dan upaya yang dilakukan pada tingkat manajemen maupun operasional dengan atau tanpa upaya paksa adalah tetap bagi semakin manusiawinya manusia.
Ketiga kriteria tadi dibangun dengan kesadaran. Kesadaran konteks ini adalah mampu memahami peran dan fungsinya sebagai polisi. Birokrasi kepolisian menjadi ikon peradaban. Ikon kecepatan kedekatan dan persahabatan. Keberadaan polisi dapat mengurangi rasa takut warga masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas.
Polisi dengan pemolisiannya bekerja secara proaktive problem solving. Membangun kemitraan, mengutamakan pencegahan dan keberadannya diterima dan didukung warga masyarakat yang dilayaninya.
Pada konteks itulah maka pada contemporary policing dikembangkan community policing dengan standar standar pelayanan prima (cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses).
Polisi kehebatannya bukan pada pangkat, jabatan, kepandaian, kewenangannya tetapi manakala menjadi role model dan panutan atau ikon yang dipercaya masyarakat.
Senjata polisi bukan bedil atau pistol atau pentungan tetapi simpati masyarakat.**
[Chryshnanda Dwilaksana]