DPR Makzulkan Presiden Trump

TRANSINDONESIA.CO – Dewan Perwakilan Rakyat DPR Amerika Serikat, Rabu (18/12),malam , memakzulkan Presiden Donald Trump , menuduhnya telah menyalahgunakan kekuasaan presiden demi kepentingan politik pribadi dan kemudian menghalang-halangi upaya Kongres untuk menyelidiki tindakannya.

Dalam pemungutan suara yang hampir sejalan dengan garis partai, DPR yang dikuasai oleh faksi Demokrat menyetujui dua pasal pemakzulan terhadap Trump, menjadikannya sebagai presiden ketiga dalam sejarah 243 tahun Amerika yang dimakzulkan, setelah Andrew Johnson pada 1868 dan Bill Clinton pada 1998.

Senat yang Dikuasai Republik Hampir Tak Mungkin Memecat Trum

Trump, yang telah mencemooh tuduhan pemakzulan dan menyerang faksi Demokrat karena meminta pertanggungjawabannya, kini tampaknya akan menghadapi sidang Senat pada Januari mendatang. Namun, mengingat mayoritas Senat dikuasai faksi Republik , kemungkinan besar ia akan dibebaskan, dan nasibnya akan ditentukan oleh para pemilih dalam pemilu presiden November mendatang ketika Trump bertarung kembali untuk meraih masa jabatan kedua.

Gedung Putih Keluarkan Pernyataan

Tidak lama setelah pemungutan suara DPR berakhir, Gedung Putih merilis pernyataan yang menyatakan “Hari ini di DPR menandai titik puncak salah satu episode politik paling memalukan dalam sejarah Bangsa kita.” Gedung Putih menyebut tindakan itu sebagai “pemakzulan palsu.”

Ditambahkan bahwa “Presiden yakin Senat akan memulihkan ketertiban, keadilan dan proses yang teratur, yang semuanya telah diabaikan dalam proses di DPR. Presiden siap mengikuti langkah-langkah selanjutnya dan yakin bahwa ia akan sepenuhnya dibebaskan dari tuduhan itu.”

DPR Perdebatkan Esensi Proses Pemakzulan

DPR memperdebatkan proses pemakzulan Trump selama lebih dari sembilan jam sebelum melangsungkan pemungutan suara. Anggota-anggota DPR dari faksi Demokrat dengan tegas mengajukan alasan pemakzulan Trump. Mereka bergantian dengan faksi Republik, yang sebaliknya mengatakan Trump tidak melakukan kesalahan apapun dalam upayanya selama beberapa bulan untuk mendorong Ukraina menyelidiki salah seorang penantang kuatnya dalam pemilu presiden tahun depan, yang juga mantan wakil presiden Joe Biden, dan putranya Hunter Biden yang dinilai bekerja di perusahaan gas alam Ukraina, Burisma, yang sangat menguntungkan. Faksi Republik juga tetap percaya dengan teori bahwa Ukraina yang mencampuri pemilu presiden Amerika pada 2016 untuk merugikan kampanye Trump ketika itu.

Trump Minta Presiden Ukraina Selidiki Joe Biden

Trump menyampaikan permohonan penyelidikan Biden itu secara langsung kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy lewat pembicaraan telepon pada akhir Juli lalu, ketika pada saat yang sama menangguhkan bantuan militer bernilai AS$ 400 juta yang telah disetujui Kongres untuk Ukraina. Ukraina membutuhkan bantuan militer itu untuk membantu melawan kelompok separatis pro-Rusia di bagian timur negara itu.

Trump akhirnya memang meloloskan anggaran bantuan militer itu pada bulan September meskipun Zelenskiy tidak melancarkan penyelidikan terhadap Biden, hal yang menurut faksi Republik membuktikan bahwa Trump tidak terlibat dalam perjanjian “quid pro quo,” yaitu memberikan bantuan militer sebagai imbalan penyelidikan Biden.

Salah satu pasal pemakzulan yang disetujui DPR menuduh Trump telah menyalahgunakan kekuasaan kepresidenan dengan meminta bantuan negara asing, yaitu Ukraina, untuk melakukan penyelidikan guna membantunya melawan Biden, yang dalam sejumlah jajak pendapat nasional meraih dukungan luas untuk meraih nominasi calon presiden Partai Demokrat, dan menantang Trump dalam pemilu presiden tahun depan.

Seluruh Anggota Faksi Republik Tolak Pemakzulan

Dalam pemungutan suara Rabu malam, 230 anggota faksi Demokrat di DPR – kecuali dua orang – menyetujui pasal pertama pemakzulan, yaitu menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan politik. Seluruh anggota faksi Republik menolak pasal ini.

Pasal kedua pemakzulan menuduh Trump menghalang-halangi jalannya penyelidikan Kongres dengan menahan ribuan dokumen terkait Ukraina dari tim penyelidik DPR dan kemudian memblokir pejabat-pejabat utama dalam pemerintahannya untuk memberi kesaksian dalam dengar pendapat komite-komite yang dikuasai faksi Demokrat, tentang tindakan Trump terkait Ukraina.

Dalam pemungutan suara untuk pasal kedua tersebut, seluruh anggota faksi Demokrat – kecuali tiga orang – setuju. Sementara seluruh anggota faksi Republik menolak pasal ini.

DPR akan kembali bersidang Kamis (19/12) pagi.

Trump Pawai Politik di Michigan

Pemungutan suara DPR itu berlangsung ketika Trump bersiap untuk berpidato dalam pawai politik di Battle Creek, Michigan, salah satu negara bagian penting yang ikut membantu kemenangannya dalam pemilu presiden tahun 2016. Trump menyerang upaya pemakzulan yang dipimpin faksi Demokrat, dengan mengatakan kepada para pendukungnya bahwa ‘’kita tidak melakukan kesalahan, dan kita mendapat dukungan kuat yang belum pernah terjadi sebelumnya dari Partai Republik.’’

‘’Pemakzulan partisan, tidak berdasarkan hukum, adalah bunuh diri politik bagi Partai Demokrat. Apakah kalian sudah melihat jajak pendapat tentang saya dalam empat minggu terakhir ini?’’ ujarnya.

Sebelum sidang di DPR dimulai, dibacakan surat dari Presiden Trump yang dengan nada marah mengecam upaya pemakzulan dirinya dan menuduh faksi Demokrat terlibat dalam “penyimpangan keadilan” dan “percobaan kudeta.” Trump mengklaim lawan-lawan politiknya telah menyatakan “perang terbuka terhadap demokrasi Amerika.”

Pelosi menyebut surat itu sebagai “hal menyedihkan.”

Beberapa jam setelah mengirim surat itu, Trump melanjutkan serangan terhadap lawan-lawan politiknya itu lewat serangkaian cuitan di Twitter.

Pelosi menulis surat kepada anggota-anggota DPR, dengan mengatakan bahwa dalam mempertimbangkan apakah akan memakzulkan atau tidak presiden, mereka sedianya menggunakan ‘’salah satu kekuatan paling dalam yang diberikan kepada kita oleh Konstitusi.”

Pelosi, yang sebelumnya selama berbulan-bulan enggan mengupayakan pemakzulan Trump, menyimpulkan bahwa “sangat menyedihkan ketika fakta-fakta menunjukkan dengan jelas bahwa presiden telah menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi, politik, dan ia menghalangi Kongres dengan menyatakan bahwa ia tidak perlu dimintai akuntabilitasnya, di atas Konstitusi, di atas rakyat Amerika. Di Amerika tidak ada satu orang pun berada di atas hukum.” [em/ft]

Sumber : VOAIndonesia

Share