Ngelmu Iku Tinemu Soko Sarananing Laku : Literasi Seni Budaya dan Transformasi

TRANSINDONESIA.CO – Berilmu pengetahuan dan dapat mengimplementasikan dalam pikiran perkataan dan perbuatan yang mengangkat harkat martabat manusia merupakan bagian dari membangun peradaban. Peradaban ada karena dimengerti, disadari, diimplementasikan, dan ditransformasikan sehingga terjaga dan lestari. Suatu bangsa dapat bertahan hidup tumbuh dan berkembang karena beradab dan mampu menyelesaikan konflik secara beradab pula.

Hidup secara beradab dapat ditunjukkan adanya literasi seni budaya yang menyadarkan bahwa keanekaragaman merupakan kekayaan kemampuan beradaptasi secara cerdas dan mampu hidup toleransi saling menghormati dan memberi apresiasi. Pemahaman pengetahuan dan kemampuan untuk menumbuhkembangkan ini memerlukan transformasi.

Mentransformasi seni budaya dapat melalui pembangunan civil society yang pada konteks ini komunitas-komunitas seni budaya mampu mencerahkan memiliki daya ungkit dan sebagi soft power bagi pemerintah, akademisi maupun sektor bisnis atau para pengusaha.

Seni dan budaya seringkali terpengaruh dari kekuatan dan kewarasan politik dan sistem perpolitikannya. Tatkala seni budaya hanyut dalam arus pasar asal laku dan tidak lagi memahami rasa atau citra atau karakter yang menjadi keunggulannya maka hampa rasanya seni budaya tadi.

Seni budaya membutuhkan pasar namun bukan semata mata obyek dari pasar melainkan mampu mengendalikan pasar. Para kurator kolektor dan pedagang barang seni budaya seringkali terjebak pada rutinitas atau yang penting laku sehingga terus menggerus kualitas produk dan kreatifitasnya.

Seni budaya membutuhkan wadah bagi hidup tumbuh berkembang dan lestarinya. Wadah inilah yang mampu mengkomunikasikan menjembatani memberi ruang dan membrandingnya. Tentu saja memarketingkan. Pada konteks marketing di sini mampu menunjukkan positioning deferential dan brandnya.

Laku seni budaya merupakan tata laku seni budaya yang menjadi bagian dari kehidupan sehari hari ditransformasikan melalui tradisi atau kegiatan-kegiatan edukasi bahkan juga dalam spiritualitas.

Pelaku yang mentransformasi seni budaya merupakan pahlawan yang seringkali tidak tercatat atau terlupakan.

Romo Sindhunata pernah menulis dan mempublikasikan dalam buku berjudul “Cikar Bobrok”. Dalam buku itu tercatat para pentransformasi seni budaya. Ada Pak Gepuk pembuat Wayang Suket. Ada Dalang Jemblung ada pelukis Affandi, pelukis Lucia Hartini, Slamet Gundono, Sulasno,  dan sebagainya.

Pelaku seni budaya tak terbilang mereka berjuang dengan cara mereka. Pak Tino Sidin misalnya dengan gaya khas gemar menggambar “Yak bagus”. Bondan Winarno dengan “Mak nyus …”.

Seni budaya akan berkaitan dengan rasa sentuhan-sentuhan yang tak nampak atau intagible menjadi kekuatannya. Para pahlawan seni budaya tingkat lokal sungguh menjadi penjaga dan pembangun peradaban. Laku seni inipun dapat ditransformasi melalui religi seni tradisi hobi dan teknologi.

Gerakan membangun literasi seni budaya membangun wadah wajah bagi seni budaya setidaknya menjadi jembatan bagi para pelaku seni budaya mempunyai ruang atau panggung mentransformasi.

Di era digital, literasi seni budaya dapat dilakukan melalui komunitas komunitas, grup konunikasi seperti yang dilakukan Kandang Kebo, Bolbrutu, Walibatu, Masdarwis, Deswita, Dewi dan sebagainya.

Di sinilah dapat dilahirkan local heroes dan membangun ikon peradaban. Bali dapat menjadi model membangun literasi seni budaya. Di mana pemerintah, akademisi, seniman, masyarakat, sektor bisnis, media saling mendukung dan membangun masyarakat sadar wisata. Selain menjaga peradaban masyarakat yang sadar wisata adalah para patriot di era digital dalam menjaga dan melestarikan seni budaya bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat yang mampu mensejahterakan.***

[Chryshnanda DL]

Share