City & The State
TRANSINDONESIA.CO – Saya teringat Gubernur Anis Baswedan dengan tagline ‘Bangun kotanya, bahagiakan warganya’ tatkala The HUD Institute menggelar bedah buku ‘Kaca Benggala’ dan ‘Utak Atik Tata Kelola Kota karya Tjuk Kuswartojo. Buku megah yang informatif dan historis pun bervisi kuat. Buku yang menjadi cermin besar yang menarik dan menggoda enzim penasaran beta.
Pak Tjuk Kuswartojo mendefenisikan Kaca Benggala adalah kaca besar tempat bercermin, yang dipetik dari kisah Ramayana. Bedah medis yang biasanya sesi mencekam, tapi bedah buku pak Tjuk yang diawali atraksi alat musik petik tradisional mirip gitar benggala, pun merasuk ke dalam “labirin” sejarah dan dialektika nan asyik. Diksi dan daftar isinya seperti buku sejarah dan tak rabun ulasan aturan hukum. Seperti penulisnya seorang jurist. Penasaran pun terpantik sampai esai ini terkirim kepada uda Eky dari P&B.
Kota tak hanya fisik, seperti perempuan tak hanya perihal lisptik. Namun lekat erat ikhwal sosial-politik dan budaya, bahkan lebih dari itu, ada tamadun (peradaban) berpengaruh di situ.
Romannya mencakup ragam aspek bernegara. Kota dimulakan, dirancang dan dikelola. Tumbuh bak makhluk organis. Bangkit dengan spirit. Surut pun sunyi bahkan mati dan ditinggalkan.
Kalau membaca sejarah, kota adalah kitab terbuka jejak sejarah manusia, kaum, bangsa dan negara. Jejak corak jiwa bangsa: Volk Geist.
Dalam sejarah Yunani kuno, kota adalah idemditto negara. Kota menjadi ruang sosial dan narasi kewargaan. Disebut negara kota atau Polis. Kota yang dikelilingi oleh tembok pertahanan merupakan tata pemerintahan gaya Sparta dan Athena. Dalam ‘Kaca Benggala’, pada masa perang penguasa Jepang mengorganisir semua kota yang memiliki satuan sosial (tonari gumi) siap menghadapi perang.
Tata pemerintahan di Sparta digariskan oleh Lykurgos (+/- 900 SM) dan bersifat aristoklatis militer. Kaum bangsawan memegang peranan dalam pemerintahan. Sejak berumur tujuh tahun, anak-anak sudah dijadikan sebagai anak negara dan memproleh pendidikan militer. Mereka memiliki dewan penasihat yang anggotanya terdiri dari orang-orang tua (ephoros). Dewan rakyat tidak memiliki peranan dalam tata pemerintah di Sparta.
Sedangkan tata pemerintahan Athena digariskan Solon (+/- 600 SM). Sifatnya oligarkis demokratis. Pemerintahan berada ditangan orang baik-baik, tetapi kekuasaan berada ditangan rakyat. Solon buat peraturan yang menguntungkan rakyat. Dua kota berdekatan namun beda ide dan pandangan politik tentang kota.
Membangun kota ya…membangun negara. Polis subsider Athena mewariskan “filsafat” kota. Kiranya ini paragraf pikiran saya: bahwa kota itu melampaui penataan fisik kota. Namun penataan dan cara bernegara. Menata tamadun dan arah kiprah negara.
Eureka, ada relasi kuat antara City and the State. Lantas negara juncto kota itu mengabdi untuk bahagia siapa? Itu pertanyaan dan penasaran dalam skala benggala.
Walau ada pandangan ikhwal geliat Urban Mobility yang seakan menjadi akhir dari menempati lokasi (the end of location), namun patik percaya bertempat tinggal adalah takdir manusia. Manusia adalah makhluk bermukim, begitu paragraf pertama buku ‘Ayat-Ayat Perumahan Rakyat’ (AAPR). Idemditto, tak ada yang hendak menjadi Robinson Cruso atau Tarzan, ujar pak Tjuk dalam ‘Kaca Benggala’ (h.226), yang senada dengan manusia makhluk bermukim dalam AAPR.
Betapapun sangat melanglangbuana-nya sang insan manusia, rumah dan keluarga adalah pangkalan yang insaniawi. Saya menyetujui Ground Norm dalam konstitusi: setiap orang berhak atas tempat tinggal. Itu abstraksi watak antropologis-sosiologis manusia makhluk bermukim. Cenderung kepada hajat bertempat tinggal. Jadi, bertempat tinggal subsider public housing masih valid menjadi tema sentral atau sistem norma negara kesejahteraan (sosial) idemditto pembangunan perkotaan.
Tepat jika capaian Sustainability Development Goals (SDG) menghendaki Sustainability Cities and Communities. Sahih jika pak Anis merevisi Peraturan Gubernur tentang PengembanganTOD bertaut dengan jaminan public housing.
Perihal happiness and the city pernah saya tulis untuk mengingatkan kota bukan hanya penjumlahan fisik bangunan tanpa gagasan dan minus jiwa. Dulu, RUU Bina Kota menyebut diksi ‘suka’ yang mungkin terjemahan happiness. Apapun konsep kota yang diusung: smart city, green city, livable city– namun kota inklusif adalah nukleusnya. Artinya mustahil kota tanpa warga yang bahagia, apalagi vis a vis dan menyingkirkan satu pun warga. No one be left adalah prinsip universalnya.
Kiranya kota bahagia membutuhkan otoritas kota yang tangguh, tabah, berkeadilan dan iklusif menjemput partisipasi warga. Mengapa? Tangguh tanpa tabah, akan menggemakan kegelisahan dan lempar kemarahan. Tanpa berkeadilan akan goyah.Tanpa inklusif akan mencurigakan. Pun kota “benggala” nan molek indah berkilau yang tak membahagiakan warga, lantas untuk apa kota?
Ketika bertempat tinggal dan kota tak terpisahkan, seperti kota dengan negara kesejahteraan– maka kuat relasi City and the State. Lantas kapan diadakan UU Perkotaan? Tabik. **
[Muhammad Joni]