Stop Aksi Kekerasan Ketika Koalisi Masyarakat Sipil Gagal Dalam Perang Argumentasi Terkait Bangkitnya Peran Sospol TNI Dibalik Revisi UU TNI
Kekerasan bukanlah bahasa perjuangan. Hanya dengan keteguhan ilmiah dan moral, perubahan hakiki bisa diraih.
TRANSINDONESIA.co | Oleh; Urai Zulhendri (Eksponen Gerakan Mahasiswa Universitas Indonesia)
Bahwa pada Kamis 20 Maret 2025 DPR RI resmi menetapkan revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang di Gedung DPR. Pengambilan keputusan tersebut sudah melalui mekanisme yang diatur dalam aturan main menurut perundang-undangan. Dan saya mengapresiasi langkah DPR RI dalam hal ini Pemerintah menetapkan UU ini.
Pertama, Tuduhan bahwa adanya upaya terselubung membangkitkan peran sosial politik berhasil dipatahkan secara argumentatif. Mentan Menkopolhukam dan Pakar hukum Tata Negara Prof. Mahfud MD serta mantan Gubernur Lemhanas Andi Widjayanto adalah diantara tokoh masyarakat yang membenarkan tidak ada kebangkitan dwi fungsi TNI dibalik revisi UU TNI. Kegagalan argumentasi jangan sampai memicu emosi mengambil jalan kekerasan sebagai pelampiasan kemarahan. Ini tidak menunjukan karakter sebagai seorang intelektual.
Kedua, Kami dengan tegas mengecam segala bentuk aksi kekerasan yang mengatasnamakan gerakan mahasiswa atau masyarakat sipil dalam menyikapi proses legislasi RUU TNI. Gerakan mahasiswa sejati haruslah dilandasi integritas intelektual, argumentasi rasional, dan moral yang luhur, bukan dengan cara-cara destruktif yang memprovokasi kekerasan.
Ketiga, Kami menolak keras upaya segelintir pihak yang sengaja menciptakan konflik fisik dengan aparat hanya untuk mencari pembenaran narasi kebangkitan dwifungsi TNI. Tuduhan bahwa RUU TNI mengembalikan peran sosial-politik militer adalah tidak akurat. Justru, proses legislasi yang berjalan telah mempertegas batasan ruang gerak TNI dalam ranah sipil, sesuai prinsip reformasi demokrasi.
Keempat, aksi-aksi anarkis seperti pengrusakan properti, penghadangan jalan, atau provokasi terhadap aparat keamanan tidak hanya merusak martabat gerakan mahasiswa, tetapi juga mengaburkan substansi perjuangan yang seharusnya berbasis data, analisis kritis, dan dialog konstruktif. Tindakan tersebut hanya memberi ruang bagi pihak-pihak yang ingin mereduksi gerakan moral-intelektual menjadi chaos tanpa makna.
Kelima, Kami mengingatkan: provokasi kekerasan bukanlah jalan untuk memenangkan aspirasi. Jika cara-cara seperti ini terus dipaksakan, kami khawatir akan memantik reaksi negatif dari masyarakat yang menghendaki ketertiban, termasuk dari pihak-pihak yang selama ini mendukung proses demokrasi.
Keenam, Kami mendesak semua pihak untuk kembali ke jalur perdebatan substantif, mengedepankan check and balance melalui mekanisme hukum dan DPR, serta menghindari politik sensasi yang berbahaya. Gerakan mahasiswa harus kembali menjadi garda terdepan yang memastikan proses legislasi benar-benar aspiratif, transparan, dan bebas dari kepentingan sepihak.
Perlu kami tekankan, Kekerasan bukanlah bahasa perjuangan. Hanya dengan keteguhan ilmiah dan moral, perubahan hakiki bisa diraih.
Yang kami khawatirkan adalah kami tidak bisa menahan kemarahan pendukung Prabowo menghadapi cara cara kekerasannya mereka yang mengatasnamakan gerakan masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa.*