Kajian Rendahnya Tingkat Kepercayaan Masyarakat Indonesia terhadap Pemerintah

Pendekatan TUPAC (Trust, Understanding, Propose, Agree, Commitment), Studi Kasus Sovereign Wealth Fund Singapura dan Malaysia

 

TRANSINDONESIA.co | Olen : Drs. Muhammad Bardansyah Ch,Cht

Beberapa hari ini Media, baik media mainstream maupun media sosial di ramaikan dengan berita tentang Danantara disusul kemudian dengan postingan untuk menarik tabungan maupun deposito dari Bank BUMN ; yang terakhir sebenarnya adalah hal yang sangat berbahaya bagi Bank karena bisa menyebabkan rush atau Bank Run.

Apakah Danantara itu ? Danamtara adalah semacam SWF atau Sovereign Wealth Fund. Adapun pengertian dari SWF adalah : dana investasi yang dimiliki oleh pemerintah suatu negara. SWF biasanya dibiayai dari surplus devisa, komoditas (minyak, gas), atau aset negara. Contohnya :
• Temasek Holding (Singapura)
• Norway Government Pension Fund Global (Norwegia).
• China Investment Corporation (Cina).
• Public Investment Fund (Arab Saudi).

Bank run adalah : situasi di mana sejumlah besar nasabah menarik simpanan mereka dari sebuah bank secara bersamaan karena mereka percaya bahwa bank tersebut mungkin bangkrut atau tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Rush adalah : dalam konteks keuangan merujuk pada peningkatan aktivitas atau permintaan yang tiba-tiba dan signifikan dalam suatu pasar atau produk keuangan. Ini bisa berupa pembelian atau penjualan yang intensif.
Kedua hal di atas adalah situasi yang sangat berbahaya bagi Bank dan dapat mengakibat effek domino bagi perekonomian sebuah negara. Pemerintah harus menjelaskan kepada masyarakat agar hal ini bisa di hindari sehingga tidak menjadi economic turbulence di negaeri ini.

Mengapa Sebagian masyarakat pada negara tertentu ragu dengan keberadaan SWF ini , dalam tulisan ini kita mengambil contoh case Malaysia dan Singapura :

Faktor Umum Penyebab Keraguan terhadap SWF

Kurangnya Transparansi

Banyak SWF tidak terbuka tentang portofolio investasi, keputusan strategis, atau kinerja keuangan, sehingga memicu kecurigaan penyalahgunaan dana publik.
Contoh: Hanya 12% SWF global yang memublikasikan laporan audit independen (Global SWF Report, 2023).

Politik dan Intervensi Pemerintah
SWF sering dianggap sebagai alat politik untuk mengamankan kepentingan elit atau proyek simbolis, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Risiko Investasi yang Tidak Terkendali
Investasi SWF di aset berisiko (seperti saham teknologi atau startup) bisa mengancam stabilitas keuangan negara jika terjadi kerugian besar.

Ketimpangan Manfaat

Masyarakat merasa SWF hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara hasil investasi tidak dirasakan secara langsung (misal: subsidi energi atau pendidikan).

Studi Kasus 1: Temasek Holdings (Singapura)

Prestasi
• Aset Temasek mencapai S$382 miliar (2023), dengan portofolio global di sektor teknologi, energi, dan finansial.
• Return investasi rata-rata 14% per tahun sejak 1974, mendanai program sosial Singapura seperti perumahan publik (HDB).

Sumber Keraguan Masyarakat
1. Transparansi Terbatas
o Temasek tidak wajib memublikasikan detail investasi karena statusnya sebagai perusahaan swasta (private company), meskipun dimiliki pemerintah.
o Masyarakat tidak bisa mengakses data lengkap tentang eksposur risiko (misal: investasi di Alibaba yang anjlok 70% pada 2021).
2. Keterkaitan dengan Elit Politik
o CEO Temasek sering kali mantan pejabat pemerintah atau keluarga penguasa. Contoh: Ho Ching (CEO 2004–2021) adalah istri mantan PM Lee Hsien Loong.
o Kritikus menilai hal ini menciptakan konflik kepentingan (The Straits Times, 2020).
3. Ketergantungan Ekonomi Nasional
o 24% aset Temasek diinvestasikan di Singapura. Jika terjadi krisis (misal: resesi properti), dampaknya akan langsung ke perekonomian domestik.
o
Studi Kasus 2: Khazanah Nasional (Malaysia)
Prestasi
• Berhasil merestrukturisasi Malaysia Airlines dan membangun ekosistem teknologi melalui investasi di Grab dan ASEAN Super Grid.
• Menyumbang RM1.2 miliar untuk program B40 (bantuan masyarakat miskin) pada 2022.

Sumber Keraguan Masyarakat
Skandal Korupsi 1MDB
o Meski Khazanah bukan pelaku, skandal 1MDB (kerugian US$4.5 miliar) menciptakan trauma kolektif terhadap SWF di Malaysia.
o Publik khawatir Khazanah bisa disalahgunakan seperti 1MDB, apalagi sejak PM Anwar Ibrahim mengambil alih kursi ketua dewan Khazanah (2023).
Perubahan Kebijakan Politik
o Pergantian pemerintahan (dari Najib ke Mahathir, lalu Anwar) menyebabkan arah investasi Khazanah berubah-ubah.
o Contoh: Di era Mahathir (2018), Khazanah dipaksa menjual aset strategis seperti LANDIS Hotels untuk tutupi utang negara.

Minimnya Dampak ke Masyarakat
o Meski laba Khazanah meningkat, masyarakat miskin Malaysia tetap tinggi (5.6% pada 2023).
o Subsidi bahan bakar dan listrik justru dipotong untuk mengompensasi defisit negara, memicu protes (Bersih 2.0, 2023).

Menarik untuk mengkaji mengapa Masyarakat meresponse negative atas inisiatif pemerintah ini, apa yang melatarbelakanginya. Saya mencoba mengkajinya dengan terminology management yang di sebut dengan TUPAC. TUPAC adalah singkatan dari Trust, Understanding, Propose, Agree and Commitment.

Trust (Kepercayaan)

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah Indonesia rendah karena beberapa faktor kritis:
Korupsi Sistemik : Indonesia masih berada di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023 (Transparency International, 2023). Skandal seperti penggelapan dana COVID-19 (ICW, 2021) memperkuat persepsi ketidakjujuran.

Kinerja Pelayanan Publik : Hanya 34% masyarakat puas dengan layanan kesehatan dan pendidikan (World Bank, 2022). Banyak kebijakan dianggap tidak menyentuh kebutuhan dasar, seperti subsidi BBM yang tidak tepat sasaran.
Ketimpangan Ekonomi : 1% populasi menguasai 47% kekayaan nasional (Oxfam, 2023), memperlebar kesenjangan dan kecurigaan terhadap kebijakan pro-elit.

Understanding (Pemahaman)

Masyarakat sering tidak memahami kebijakan pemerintah karena:
Komunikasi Sepihak : Pemerintah gagal menjelaskan tujuan kebijakan seperti UU Cipta Kerja secara inklusif. Survei LSI (2023) menunjukkan 68% masyarakat tidak paham implikasi UU tersebut.
Kurangnya Transparansi : Proses pengambilan keputusan dianggap tertutup, misalnya dalam proyek strategis seperti Ibu Kota Nusantara (IKN).

Disinformasi : Hoaks politik yang tidak terkendali (Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, 2023) menciptakan persepsi negatif yang sulit dikoreksi.

Propose (Usulan Kebijakan)

Kebijakan pemerintah sering dianggap tidak sesuai dengan aspirasi publik:
Prioritas Tidak Jelas : Alokasi anggaran untuk militer (Rp 134 triliun pada 2024) lebih tinggi daripada stunting (Rp 34 triliun), padahal 24% balita Indonesia stunting (Kemenkes, 2023).

Kebijakan Kontroversial : Contohnya revisi UU KPK yang dianggap melemahkan pemberantasan korupsi (ICW, 2020).

Ketimpangan Partisipasi : Hanya 12% masyarakat merasa suaranya didengar dalam perumusan kebijakan (Survei Indikator Politik, 2023).

Agree (Kesepakatan)
Tingkat kesepakatan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah rendah karena:

Politik Identitas : Kebijakan seperti larangan minuman beralkohol di Bali (2023) dianggap mengabaikan kebutuhan lokal, memicu protes.
Pembelahan Politik : Polarisasi pasca-Pemilu 2019 dan 2024 mengurangi legitimasi kebijakan pemerintah di mata oposisi.
Konflik Horizontal : Kebijakan seperti pemindahan ibu kota dianggap menguntungkan Kalimantan dan mengabaikan Papua/Maluku (Jurnal Kajian Politik UI, 2023).

Commitment (Komitmen)

Komitmen pemerintah diragukan karena:
Inkonsistensi Kebijakan : Janji reformasi agraria (9 juta hektar untuk rakyat) hanya terealisasi 1,2 juta hektar (KPA, 2023).
Lemahnya Penegakan Hukum : Kasus pelanggaran HAM seperti tragedi Kanjuruhan (2022) belum tuntas, menurunkan kepercayaan pada komitmen keadilan.
Tumpang-Tindih Regulas : 42% pelaku UMKM mengeluhkan kebijakan yang berubah-ubah (Kadin, 2023).

Rekomendasi Berbasis TUPAC
1. Trust : Perkuat KPK dan transparansi anggaran.
2. Understanding : Kampanye sosialisasi kebijakan berbasis bukti dan partisipatif.
3. Propose : Libatkan masyarakat dalam perumusan RUU melalui dialog terbuka.
4. Agree : Bangun konsensus lintas kelompok dengan pendekatan kearifan lokal.
5. Commitment : Tetapkan target kebijakan jangka panjang dengan indikator jelas.

Kesimpulan

Masyarakat ragu terhadap SWF karena kombinasi faktor legitimasi politik, transparansi, dan prioritas investasi. Di Singapura, skeptisisme muncul dari dominasi elit dan risiko ekonomi, sementara di Malaysia, trauma korupsi (1MDB) dan inkonsistensi kebijakan menjadi pemicu utama. Untuk mengurangi keraguan, SWF perlu:
1. Meningkatkan akuntabilitas melalui audit independen.
2. Memisahkan keputusan investasi dari kepentingan politik.
3. Menunjukkan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat (misal: subsidi langsung atau pembangunan infrastruktur).

Dengan memperbaiki lima aspek TUPAC, pemerintah dapat membangun kepercayaan yang lebih substansial dan berkelanjutan.

Referensi
1. Transparency International (2023), Corruption Perceptions Index.
2. LSI (2023), Survei Persepsi Publik tentang UU Cipta Kerja.
3. ICW (2021), Laporan Korupsi Dana COVID-19.
4. World Bank (2022), Indonesia Public Expenditure Review.
5. Oxfam (2023), Laporan Ketimpangan Indonesia.
6. Transparency International (2023): Laporan Integritas SWF Global
7. The Edge Malaysia (2022): Khazanah’s Role in Post-1MDB Economic Recovery.
8. National University of Singapore (2021): Temasek’s Governance Model: Strengths and Criticisms.

Share