Jumlah Migran yang Dituduh ‘Berbahaya’ di Guantanamo Meningkat
TRANSINDONESIA.co | Militer AS kini menampung sekitar 68 tahanan di penjaranya di Teluk Guantanamo, Kuba, sebagai bagian dari upaya membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) menjalankan deportasi massal.
Laksamana Alvin Holsey, panglima Komando Selatan AS, yang mengawasi pangkalan angkatan laut AS di Teluk Guantanamo, berbagi data terbaru itu dengan para legislator hari Rabu. Tetapi ia mengatakan ia belum dapat memberikan rincian mengenai berapa biaya yang diperlukan untuk menampung individu yang kian banyak jumlahnya itu.
Holsey mengatakan upaya itu mencakup penahanan individu yang oleh para pejabat DHS digambarkan sebagai “kriminal asing yang sangat berbahaya” dan pada akhirnya menahan hingga 30 ribu migran yang tidak melakukan kekerasan yang dijadwalkan untuk dideportasi.
“Kami melakukan pendekatan bertahap,” kata Holsey kepada para anggota Komite Angkatan Bersenjata Senat, seraya menambahkan bahwa pangkalan itu sekarang memiliki kapasitas untuk menampung sekitar 2.500 migran yang tidak melakukan kekerasan.
“Kami bekerja sama dengan DHS untuk memahami arus migran ini,” ujarnya. “Kami tidak akan mengirim hingga 30 ribu kecuali kami tahu bahwa arus migran akan datang. Jadi, kami sedang menunggu saat ini.”
Komando Transportasi AS mengatakan kepada VOA pada hari Senin bahwa ada setidaknya lima penerbangan migran ke Teluk Guantanamo, masing-masing dengan pesawat kargo militer C-130 atau C-17. Sebagian besar penerbangan itu, menurut beberapa pejabat, mengangkut 10 hingga 15 tahanan.
Menteri Keamanan Dalam Negeri Kristi Noem, yang mengunjungi fasilitas penjara itu Jumat pekan lalu dan menyaksikan pemindahan tahanan dari penerbangan ketiga ke pusat penahanan itu, telah berulang kali menyebutkan orang-orang tersebut sebagai “pembunuh dan anggota geng yang kejam” dari Venezuela dan menyebutnya sebagai “yang paling buruk buruk dari yang terburuk.”
Dalam sebuah postingan di media sosial, Noem mengatakan sedikitnya satu migran yang dikirim ke Teluk Guantanamo telah mengaku melakukan pembunuhan, dan yang lainnya diburu karena percobaan pembunuhan, penyerangan, perdagangan senjata dan pemalsuan identitas.
Seorang pejabat, yang berbicara kepada VOA dengan syarat anonim untuk membahas upaya deportasi, mengatakan, semua individu yang ditahan di Teluk Guantanamo telah diberi perintah terakhir untuk dideportasi. Tetapi DHS belum memberi dokumen dakwaan atau rincian lain terkait kejahatan yang diduga dilakukan para tahanan.
Hari Rabu, American Civil Liberties Union (ACLU, Serikat Kebebasan Sipil Amerika), bersama dengan beberapa organisasi hak-hak imigrasi, mengajukan gugatan hukum terhadap DHS, menuduh para tahanan itu ditahan di fasilitas penjara Teluk Guantanamo secara tidak patut tidak diberi akses ke pengacara.
“Dengan terburu-buru membawa imigran ke pulau terpencil yang terpisah dari pengacara, keluarga dan dunia, pemerintahan Trump mengirim sinyal paling jelas bahwa supremasi hukum tidak berarti apa-apa baginya,” menurut pernyataan pengacara utama ACLU, Lee Gelernt.
“Sekarang terserah pengadilan untuk mengukuhkan bahwa supremasi hukum yang mengatur negara kita,” lanjutnya. [voa]