Lemdiklat Polri: Tanamkan Budaya Malu dalam Reformasi Birokrasi Secara Kultural

TRANSINDONESIA.co | Budaya Malu bagi aparat sejatinya kewarasan yang sadar bahwa apa yang dilakukan berefek kontra produktif bagi hajat hidup banyak orang.

Itu semua bisa dari; pikiran, perkataan, perbuatan akibat ketidakmampuan atau kelalaian. Tatkala disengaja itu kegilaan.

Bagaimana kalau ngotot dan Bangga dengan pelanggaran atau penyimpangan dengan yang ideal? Tentu sudah bisa dipertanyakan kewarasannya.

Miris dan malu melihat anak bangsa apalagi kaum terpelajar, pejabat dan orang orang terhormat yang masih bangga kalau bisa melanggar, bisa melawan dan memaki maki yang lemah.

Lebih membuat marah banyak orang malah mendapat keistimewaan. Pamer okol yang mengalahkan akal dipertontonkan di area publik. Dan anehnya semua menganggap biasa atau sikap permisif.

Adakah orang gila kesakitan walau makan sampah? Atau merasa malu telanjang di jalanan?

Tentu hanya orang waras yang bisa merasakan sakit atau malu.

 Di dalam reformasi birokrasi secara kultural hal kecil yang menjadi masalah harus segera diselesaikan dengan tuntas.

Hukum harus jadi panglima sesuatu untuk dipatuhi. Birokrasi mulai dibangun dengan pendekatan impersonal atau pendekatan kompetensi berbasis track record. Tatkala dibangun model personal dampaknya pasti kontra produktif. Yang terbangun cligue (klik) bagi kroni. Istilah 4 L muncul terus: lu lagi lu lagi.

Tatkala pendekatan personal meraja lela, kaum kroni akan melakukan tindakan memalukan, menginjak injak hukum yang sama saja perilaku merusak peradaban.

Yang lebih memalukan  di viral kan dipamerkan dibangga banggakan. Sesuatu yang merusak citra dan budaya humanis birokrasi dipamerkan dengan tanpa rasa malu.

Tatkala literasi rendah maka kaum intelektual sekalipun perilakunya bisa kehilangan akal sehat dan logikanya. Kualitas literasi suatu birokrasi terefleksi dalam perilaku organisasi.

Perilaku organisasi  yang viral dan kontra produktif antara lain:

1.Pemerasan

2.Penyuapan

3.Backing ilegal

4.Pembiaran

5.Sikap masa bodoh

6.Perilaku dan kata kata kasar

7.Kekerasan dalam bentuk apapun

8.Gaya hidup hedonisme

9.Tidak Profesional

10.Apatis atau masa bodoh, dsb.

Dari 10 point di atas setidaknya dapat digunakan sebagai bahan acuan memahami dan  merefleksi budaya organisasi. Semakin kecil potensi terjadinya pelanggaran maka tingkat perilaku organisasinya  semakin baik.

 Reformasi Birokrasi secara kultural yang ditunjukan dalam upaya mewujudkan dan memelihara budaya malu antara lain:

1.Pemimpin dan kepemimpinan yang transformatif dan melayani

2.Membangun birokrasi yang berbasis kompetensi (impersonal)

3.Menegakan hukum dan aturan tebang habis, tidak tebang pilih

4.Membina SDM secara profesional dan memangkas Kroniisme

5.Mencegah dan Menindak berbagai Kejahatan Birokrasi

6.Meningkatkan Kualitas Literasi Birokrasi

7.Menerapkan Merit System

8.Memberlakukan Reward and Punishment System secara konsekuen

9.Lembaga Pendidikan dan Latihan dapat menjadi Refleksi Birokrasi

10.Memodernisasi Birokrasi terutama dalam Meningkatkan kualitas pelayanan publik

11.Membangun budaya Patuh Hukum

 12.Mengembangkan Inisiatif  Anti korupsi Melalui pendekatan dan pengembangan seni budaya disertai apresiasi atas prestasi dan kreatifitas.

13.Membangun sistem on line yang berbasis elektronik sehingga ada digital record untuk meminimalisir potensi terjadinya korupsi

14.Memberi ruang bagi orang orang yang baik dan benar dalam mewaraskan birokrasi

15.Mengembangkan etika publik dalam pengajaran pada sekolah sekolah maupun dalam partai politik

17.Membangun forum dialog sebagai transformasi edukasi dalam berbagai lini kehidupan

18.Membangun role model anti korupsi dari local heroes sampai dengan tingkat nasional.***CDL

Share