Lemdiklat Polri Mengajarkan Pemolisian dan Pengembangannya
TRANSINDONESIA.co | Keutamaan polisi dalam pemolisiannya akan berkaitan dengan kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban. Pola pola pemolisian menjadi bahan ajar atau pembelajaran di sekolah sekolah Lemdiklat Polri dari yang pragmatis hingga secara konseptual dan teoritikal. Secara garis besar dapat dikategorikan sbb:
1.Model pemolisian yang berbasis area atau wilayah / pendekatan geografis (Mabes, Polda, Polres, Polsek, Pospol, Bhabinkamtibmas) dapat dikembangkan untuk mengembangkan model :
a. Border policing (pemolisian di kawasan perbatasan)
b. Maritime policing (pemolisian di kawasan maritim atau kepulauan atau kawasan pantai)
c. Industrial policing (pemolisian di kawasan industri)
d. Disaster policing (pemolisian di kawasan rawan bencana)
e. Bisa dikembangkan dari model orientasi kegiatan masyarakatnya (community oriented policing) pada masyarakat perkotaan, pertanian, nelayan, perkebunan, buruh, dsb
2.Model pemolisian yang berbasis pada fungsinya : fungsi utama, fungsional maupun fungsi pendukung dapat dikembangkan sbb:
a. Road safety policing ( pemolisian berbasis pada road safety atau lalu lintas
b. Paramilitary policing, model pemolisian ala paramiliter
c. Cyber policing, pemolisian dalam memberikan pelayanan secara virtual
d. International policing, pemolisian internasional seperti : pasukan misi perdamaian PBB, laision officer, hubungan kerjasama internasional dalam penanganan kejahatan, studi banding dan pertukaran kemampuan polisi, dsb
e. Emergency policing, model pemolisian menghadapi situasi kegawatdaruratan, dsb
3.Model Pemolisian yang berbasis dampak masalah, akar masalah bukan ranah kerja polisi namun tatkala menjadi masalah bagi kemanusiaan, masalah keteraturan atau hal hal yang kontra produktif maka polisi berkewajiban menangani lintas wilayah, lintas fungsi dan lintas stakeholder:
a. Democratic policing
b.Electronic policing, pemolisian secara elektronik yang merupakan model pemolisian di era digital atau era revolusi industri 4.0
c. Forensic policing sebagai model pemolisian di era kenormalan baru, dsb
Dari pola pemikiran dan pengkategorian di atas model pemolisian yang dikembangkan di era digital dengan hadirnya artificial intillegence adalah :
1.Membangun dan mengembangkan keteraturan sosial yang smart and sustainable dengan paradigma :
a. Geopolitik dan geo strategis,
b. Sosiologis dan antropologis, ekonomi, keamanan dan pertahanan, globalisasi, modernisasi, pelayanan publik.
2.Membuat model pemolisian di era digital atau era revolusi industri dengan smart policing yang saling mendukung satu dengan lainnya antara conventional policing, electronic policing dan forensic policing
3.Membangun sistem manajemen dalam pelayanan kepolisian di bidang : keamanan, keselamatan, hukum, administrasi, informasi dan kemanusiaan yang menuju pada one stop service dengan berbasis big data system.
4.Menata keteraturan sosial secara holistik atau sistemik dalam konteks smart living, smart mobility yang ramah terhadap anak, lingkungan maupun masyarakat.
5.Membangun sistem yamg mendukung good and clean government melalui penjabaran model smart policing
6.Membangun dan mengembangkan smart security pada sistem :
a. Public security
b. Industrial security
c. Private security
d. Ecological security
e. Cyber security
f. Forensic security
7.Memberdayakan local wisdom sesuai dengan corak masyarakat dan kebudayaannya
8.Membangun dan mendukung pengembangan masyarkat sadar seni budaya dan pariwisata
9.Membangun sinergitas para pemangku kepentingan dalam
Sistem terpadu dan konekstivitas dan aksesibilitas yang menghasilkan algoritma dalam bentuk : info statistik, info grafis maupun info virtual launnya yang merupakan prediksi antisipasi maupun solusi yang dapat diakses secara real time.
Keberhasilan pelaksanaan tugas polisi dengan pemolisiannya bukan semata mata pada pengungkapan perkara namun juga dilihat dari tingkat atau kualitas kemanusiaan dalam keteraturan sosial dan tingkat kepercayaan publik serta kualitas pelayanannya.
Polisi dalam pemolisiannya dapat menjadi ikon atau simbol : kemanusiaan, peradaban dan keteraturan sosial yang pelayanannya cepat dekat bersahabat. Polisi dalam pemolisiannya dilihat dari tingkat : profesionalismenya, kecerdasannya, moralitasnya dan modernitasnya.
Membangun kepolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern dapat dibangun melalui :
1.Pembangunan pendidikan yang berlandaskan pada:
a. moralitas yang berbasis kejujuran, kebenaran dan keadilan
b. Pengendalian diri dan kedewasaan melalui : kesadaran, tanggung jawab dan disiplin
2.Kepemimpinan yang tranformasional:
a. Siap dan berani belajar dari kesalahan masa lalu
b. Siap menghadapi tuntutan, tantangan dan harapan masa kinI
c. Mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik
3.Profesionalisme
4.Kreatif dan inovatif
5.Dinamis, modern
6.Membangun model model pemolisian dengan infrastruktur dan sistem sistemnya yang berefek pada point 1 sd 5 dan terbangunnya budaya malu dan kualitas pelayanan publik yang prima
Sekolah bagi polisi yang berbasis moralitas menyiapkan menjadi polisi yang pemolisiannya berani menjadi agen perubahan. Berani mengatakan dan berjuang bagi kebenaran dan keadilan serta kemanusiaan dalam membangun keteraturan sosial bagi suatu peradaban.
“Nek Wani Ojo wedi-Wedi-wedi, Nek Wedi Ojo Wani-wani”
Makna dari “nek wani ojo wedi-wedi , nek wedi ojo wani-wani”, secara singkat jangan ragu-ragu. Kalimat motivasi di sekolah sekolah pendidikan dasar kemiliteran maupun kepolisian ada tertulis: “ragu-ragu mundur”. Tatkala akan melakukan perbuatan baik, dan benar belum tentu jalannya lancar atau mendapat dukungan dari semua pihak, bisa saja terluka bahkan menjadi korban. Sahabat, teman seperjuangan, pendukung loyal bahkan pimpinannya sekalipun bisa membuat ragu-ragu. Dalam bahasa Jawa dikenal “minggrang minggring”.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mencuplik pementasan teater Gandrik yang berjudul “tangis” sebagai contoh sikap yang minggrang minggring tadi. Den Baguse Ngarso (Susilo) memerankan orang gila yang menimang nimang sebuah benda dan bertanya : “iki telek opo roti” (ini kotoran ayam atau roti) ini diucapkan berkali-kali dan akhirnya dipegang dan dihimbau sambil berteriak: ”ow telek”.
Seorang polisi yang pemolisiannya ragu-ragu atau tidak tegas bisa jadi tatkala mengambil keputusan bukan lagi menemukan solusi tetapi menemukan telek (analogi bagi musibah banyak orang). Kalau sudah dipikirkan dengan matang, tekat yang bulat “what ever will be, do it”. Polisi dalam pemolisiannya adalah pemimpin yang berani mengambil keputusan apapun resikonya. Kebijakannya berdampak bagi hajat hidup banyak orang. Terutama dalam mewaraskan hidup dan kehidupan sosial yang anti mafia / premanisme, memberantas KKN, mereformasi birokrasi dsb, semakin ragu-ragu akan semakin banyak telek yang kita pegang.
Memang membuat tidak ragu-ragu bukanlah hal yang mudah, karena diperlukan adanya berbagai persyaratan spiritualitas, moralitas, akademis, sosiologis, politis, ekonomis dan banyak hal lainnya.***CDL