Prof. DR. dr. Irfan Wahyudi, SpU(K) Evolusi Urologi Pediatrik di Indonesia

TRANSINDONESIA.co | Penatalaksanaan kelainan urologi pada anak sesungguhnya sudah dilakukan sejak lama. Sirkumsisi merupakan salah satu prosedur bedah tertua yang tercatat dalam sejarah kemanusiaan. Bisa dijumpai pada lukisan, relief, dan naskah di Mesir kuno dan itu sudah dilakukan sejak 6000 tahun lalu. Sirkumsisi merupakan sebuah ritual pertanda kedewasaan seorang anak laki-laki dan juga menjaga kebersihan alat kelamin.

Demikian, awal dari isi pidato pengukuhan Prof. Dr. dr. Irfan Wahyudi, SpU(K) sebagai Guru Besar Urologi Pediatrik FKUI pada Sabtu (28/9) di Aula IMERI FKUI Jakarta.

Hingga sebelum abad ke-19, pengangkatan batu kandung kemih merupakan operasi yang sulit dan berisiko tinggi. Bahkan Hippocrates (tahun 460-377 SM) sendiri mengatakan, menghadapi pasien batu kandung kemih lebih menyerahkan kepada ahlinya “I will not cut for the stone, but will leave it to be done by practitioners of this work”. Ini yang menjadi titik mula pengakuan terhadap peran kompetensi spesialistik di bidang kedokteran.

Kesadaran sejumlah orang yang berkomitmen tinggi dan mempunyai pemahaman yang sama bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa, namun memiliki karakteristik kelainan yang unik dan memerlukan penanganan yang khusus. Titik kemunculan bidang urologi pediatrik sebagai sebuah pendidikan formal, bermula pada dua negara: Amerika Serikat dan Inggris secara bersamaan di tahun 1950-an. Di Amerika Serikat, subspesialisasi urologi pediatrik dikembangkan oleh spesialis urologi. Sedangkan di Inggris, dikembangkan oleh spesialis bedah anak.

Menariknya, walaupun berawal dari dua bidang yang berbeda, kedua jalur ini saling berkolaborasi dan saling menghormati.

Sebagai contoh, Sir David Innes Williams yang merupakan seorang spesialis urologi ditunjuk mengembangkan urologi pediatrik di Departemen Bedah Anak, Great Ormond Street Hospital, London. Sementara itu, beberapa spesialis urologi Amerika Serikat belajar ke RS anak (hospital for sick children) di Inggris pada beberapa tahun pertama setelah mulai dibukanya pendidikan urologi pediatrik. Seperti yang dikatakan oleh Sir Denis Browne, tujuan dibuatnya (sub)spesialisasi adalah untuk membuat standar, bukan untuk memonopoli “to set a standard, not to seek a monopoly”.

Di Indonesia, urologi pediatrik awalnya menjadi bagian kecil dari pekerjaan spesialis urologi yang jauh lebih banyak menangani kasus-kasus urologi dewasa. Prosedur urologi pediatrik sudah dilakukan sejak 1990-an, di mana dr. Rochani Sumardi, Sp.B, Sp.U(K) dilanjutkan pada tahun 2000 dr. Arry Rodjani, Sp.U, sepulangnya dari pendidikan fellowship di Royal Children Hospital, Melbourne, Australia. Prof Irfan Wahyudi sendiri, bergabung kemudian dan berkesempatan mengikuti pendidikan clinical fellowship urologi pediatrik di Universitair Medisch Centrum (UMC), Groningen, Belanda di bawah bimbingan Prof. dr. Rien J. Nijman pada tahun 2007-2008.
Kasus urologi pediatrik di RSCM awalnya kebanyakan adalah kasus-kasus kelainan bawaan genitalia seperti hipospadia dan undescended testis (UDT), selain kasus batu saluran kemih yang masih cukup sering ditemui. Belakangan, kelainan-kelainan lain yang lebih kompleks semakin bertambah jumlahnya dengan spektrum kelainan yang semakin luas, seperti kasus congenital anomaly of kidney and urinary tract (CAKUT), disorders/ differences of sex development (DSD), trauma, keganasan, gangguan berkemih dan inkontinensia urine akibat struktural (misalnya bladder exstrophy-epispadias complex, BEEC) hingga kelainan fungsional seperti enuresis, overactive bladder, dysfunctional voiding dan bladder bowel dysfunction. Saat ini operasi urologi pediatrik merupakan operasi terbanyak dan juga memiliki antrian operasi terpanjang di antara keseluruhan operasi urologi di RSCM.

Menghadapi Masalah Masa Kini

Saat ini Indonesia tengah mengalami bonus demografi. Proporsi penduduk yang berusia muda menempati mayoritas bila dibanding total populasi. Kelahiran anak di Indonesia sebanyak 4,62 juta di tahun 2023. Meskipun terjadi tren penurunan, angka kelahiran anak hidup yang dilahirkan dari seorang perempuan selama masa reproduksinya (total fertility rate, TFR) juga masih tinggi, yaitu sekitar 2,14% pada tahun 2023. Angka kelahiran yang tinggi saat ini memberikan potensi produktivitas yang tinggi kepada Indonesia karena besarnya proporsi penduduk usia muda, namun besarnya jumlah populasi anak dan remaja saat ini juga bersifat proporsional dengan peningkatan jumlah kasus urologi pediatrik di Indonesia.

Kasus yang ditangani oleh urologi pediatrik sangat bervariasi karena mencakup seluruh kondisi urologi pada populasi anak dan remaja. Hal ini termasuk kelainan organ genitalia, kelainan kongenital ginjal dan saluran kemih, gangguan berkemih, batu saluran kemih, trauma dan keganasan. Di pihak lain, penegakan diagnostik dan tindakan pembedahan pada usia yang tepat merupakan kunci dari tatalaksana kondisi urologi pediatrik. Tindakan operatif seringkali diperlukan untuk meminimalisasi komplikasi jangka panjang seperti penyakit ginjal kronik (PGK), gangguan psikologis, dan kualitas hidup yang buruk. Jika tidak menerima penanganan tepat, implikasi penyakit tersebut akan dirasakan pasien seumur hidupnya.

Salah satu contoh, kejadian malformasi genitalia juga seringkali berhubungan dengan danya disorders/ differences of sex development (DSD), sebuah spektrum kelainan bawaan yang mengakibatkan kromosom, gonad atau seks fenotip yang atipik sehingga terjadi perkembangan traktus urogenital dan enotipe klinis yang abnormal. Urologi pediatrik memegang peranan penting untuk melakukan tindakan diagnostik dan terapeutik pasien DSD.

Tindakan seperti uretrosistoskopi, laparoskopi diagnostik, dan biopsi gonad seringkali diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis DSD. Dalam tahun ke belakang, Prof Irfan Wahyudi bersama rekan lainnya telah melakukan sebanyak 152 laparoskopi diagnostik, dan 30 biopsi gonad pada pasien DSD. Tatalaksana pembedahan rekonstruksi genitalia pada pasien DSD mempunyai variasi yang sangat luas, mulai dari operasi rekonstruksi untuk feminisasi dan maskulinisasi genitalia hingga eksisi gonad untuk menghilangkan faktor hormon atau potensi maligna.

Secara keseluruhan, tim urologi pediatrik telah melakukan sebanyak 45 operasi rekonstruksi feminisasi genitalia untuk DSD dari tahun 2020 – 2024. Di antara itu, juga telah melakukan klitoroplasti sebanyak 12, klitorolabioplasti sebanyak 19, dan rekonstruksi sinus urogenital sebanyak 14 tindakan. Namun, operasi terbanyak berupa rekonstruksi maskulinisasi genitalia untuk DSD sebanyak 791 pasien.

Penanganan kasus DSD membutuhkan kerja sama tim multidisiplin, melibatkan spesialis pediatri divisi endokrin, ahli genetika, dan psikiatri anak. Hal ini penting karena kondisi DSD seringkali melibatkan kelainan hormonal dan pasien kerap memerlukan bimbingan psikososial terkait identitas jenis kelamin mereka.

Keterlibatan aktif orang tua atau pengasuh anak dengan kelainan DSD juga sangat penting, karena perawatan yang dibutuhkan bersifat holistik. Dampak signifikan dari diagnosis dan penatalaksanaan yang terlambat terlihat jelas dalam beberapa kasus yang ditemui di RSCM.

Salah satu contohnya adalah dilema seorang pasien dengan identitas gender perempuan dewasa muda yang berencana menikah namun berkonsultasi karena tidak pernah mengalami menstruasi.

Pemeriksaan lebih lanjut mengungkapkan bahwa pasien tersebut memiliki kromosom dengan kariotipe 46 XY dan organ kewanitaannya tidak berkembang, sehingga tidak memungkinkan untuk hamil. Sebaliknya, juga menghadapi beberapa kasus XX DSD dewasa yang memiliki bentuk anatomi yang unik dan memerlukan rekonstruksi yang melibatkan tim urologi pediatrik untuk memperbaiki anatomi dan fungsinya.

Selain itu, kelainan bawaan yang banyak dihadapi pada ginjal dan saluran kemih adalah congenital anomalies of the kidney and urinary tract (CAKUT). Istilah CAKUT digunakan untuk mencakup spektrum penyakit yang disebabkan oleh anomali dalam perkembangan embrionik ginjal dan saluran kemih. Beban penyakit ini terutama tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, termasuk Indonesia yang menghadapi kendala akses terhadap diagnosis dini dan perawatan terbatas.

Kelainan CAKUT memiliki dampak jangka panjang yang signifikan, mulai dari masa anak hingga usia lanjut, terutama terkait dengan perkembangan penyakit ginjal kronis (PGK) dan berbagai komplikasi kesehatan lainnya. Pembentukan nefron (nefrogenesis) sebagai unit terkecil dari ginjal berlangsung sepanjang kehidupan janin intrauterine dan berakhir di minggu ke-36 masa gestasi. Adanya kejadian yang mengganggu proses nefrogenesis janin selama kehamilan akan menyebabkan penurunan jumlah nefron yang terbentuk. Manusia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan regenerasi nefron dan upaya untuk mempertahankan fungsi ginjal dilakukan dengan kompensasi hiperfiltrasi dari nefron yang masih berfungsi.

Perburukan fungsi ginjal secara bertahap tersebut menyebabkan fenomena di mana dengan bertambahnya usia, prevalensi PGK semakin meningkat Selain berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal, anak dengan CAKUT juga memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami hipertensi dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Hal ini terkait dengan gangguan fungsi ginjal dan perubahan hemodinamik yang menyertainya. CAKUT juga membawa konsekuensi psikologis dan sosioekonomi yang signifikan. Anak-anak yang mengalaminya, bersama dengan keluarga mereka, sering menghadapi tantangan dalam manajemen penyakit jangka panjang.

Tantangan ini mencakup kebutuhan akan pengobatan rutin, prosedur medis berkelanjutan, serta penyesuaian gaya hidup yang dapat memengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan.

Salah satu faktor penting berlangsungnya penatalaksanaan kasus-kasus urologi pediatrik adalah faktor pembiayaan. Seperti halnya di Inggris di mana pelayanan medis mulai berkembang setelah perang dunia kedua berakhir dengan berlakunya national health system (NHS), berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014 sangat mendukung terselenggaranya pelayanan untuk pasien-pasien urologi pediatrik. Hampir seluruh kasus urologi pediatrik tercakup, termasuk kelainan bawaan yang banyak dieksklusi oleh asuransi kesehatan lain.

Meski demikian, sistem pembiayaan JKN ini masih memerlukan sejumlah perbaikan seperti perbaikan tarif khususnya pada kasus-kasus yang kompleks dan berbiaya tinggi serta diperbolehkannya kunjungan yang multipel dalam satu hari untuk kasus yang memerlukan penanganan multidisiplin di rumah sakit rujukan.

Tantangan di Masa Depan

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang kita miliki, pengembangan layanan urologi pediatrik memerlukan transformasi yang holistik untuk mendukung terwujudnya

Generasi Indonesia Emas di tahun 2045. Diperlukan peningkatan kompetensi tenaga medis, pemenuhan sarana dan prasarana, kolaborasi serta integrasi teknologi terkini dalam layanan urologi pediatrik di Indonesia agar terus berkembang secara signifikan dan memenuhi standar internasional.

Ada sebuah kalimat menarik dilontarkan oleh Prof Irfan Wahyudi di akhir pidato pengukuhannya pada peserta PPDS dan Mahasiswa Kedokteran FKUI pada umumnya, ”Teruntuk Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis dan mahasiswa kedokteran, di tengah dinamika kehidupan dan menonjolnya materialisme saat ini, marilah kita luruskan kembali niat awal kita memilih profesi kedokteran yaitu untuk menolong orang lain. Terus belajar untuk meningkatkan kompetensi dan senantiasa menjaga etika. Bangsa ini sangat memerlukan dokter-dokter yang tidak hanya memiliki kemampuan dan kompetensi terbaik dalam memberikan pelayanan namun juga beretika dan mempunyai rasa empati. Junjunglah dan terapkan selalu 9 Nilai Dasar Universitas Indonesia selama pendidikan dan setelah tamat untuk mempertahankan standar etika tertinggi dalam pendidikan, penelitian dan pelayanan”.

Selain Prof Irfan Wahyudi, di saat yang sama, dikukuhkan juga dua orang guru besar lainnya. Prof Dr. Andi Arus Victor Sp.M(K) di bidang Ilmu Kesehatan Mata dan Prof. Dr. dr. Al Rasyid, Sp.S(K), sebagai guru besar bidang Ilmu Neurologi.

Upacara pengukuhan guru besar ini dipimpin oleh Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D. Turut hadir di antaranya Direktur Utama RS PIK, dr. Silvanus Chakra Puspita, MARS; Direktur Manajemen Siloam ASRI, dr. Grace Frelita, MM; serta sejumlah guru besar dari universitas ternama di Indonesia. Mirza Ichwanuddin

Share