Smart Policing: Model Grand Strategy Polri Menuju Indonesia Emas

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Chryshnanda Dwilaksana

1.Pendahuluan
Di era digital, semua serba online berbasis elektronik. Informasi komunikasi koordinasi bahkan komando pengendalian (K3i) dilakukan secara online. Namun, model pemolisian konvensional tetap masih dibutuhkan. Pelayanan kepolisian dalam pemolisian di bidang keamanan, keselamatan, hukum, administrasi, informasi, dan kemanusiaan perlu membangun model pemolisian yang dapat menjawab kebutuhan tersebut. Kepolisian perlu beradaptasi dengan transformasi ini dengan merintis ide- ide kreatif, beradaptasi, dan mengembangkan wawasan dan inovasi yang membentuk masa depan penegakan hukum dimulai dengan teknologi-teknologi yang mendukung konsep operasi baru, memungkinkan intervensi dan hubungan yang menjaga keamanan masyarakat (Deloitte, 2021).

2.Visi besar abadi bangsa Indonesia adalah menjadi negara berdaulat, maju, adil, dan makmur.
Dalam mewujudkan visi besar ini, pemerintah melakukan berbagai macam upaya, salah satunya menyusun perencanaan Indonesia Emas 2045 yang memiliki empat pilar utama yaitu:
1.Pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
2.Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
3.Pemerataan pembangunan
4.pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

3.Dalam mewujudkan visi Indonesia maju, Polri diharapkan mampu menjadi tempat bersandar bagi masyarakat dalam menghadapi kesulitan, mendapatkan kepastian hukum, maupun dalam mendapatkan pelayanan kepolisian. Sehingga perumusan Grand Strategy harus mampu
Polri juga harus mampu untuk memberikan jaminan keamanan dan rasa aman bagi warganya untuk bertahan hidup tumbuh dan
berkembang atau meningkat kualitas hidupnya.

4.Permasalahan yang terjadi pada saat ini, bersifat kompleks dan harus dilihat dari berbagai pendekatan. Pendekatan yang mendasar di bawah ini dapat dijadikan acuan bagi petugas polisi di berbagai level untuk membangun dan menjaga citra positif maupun kepercayaan kepada publik antara lain:
menyempurnakan, meningkatkan kualitas kinerja sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan pejuang kemanusiaan

5.Polri dapat berperan secara maksimal dalam mendukung negara
ini untuk mencapai visi besar tersebut dengan :
1.Pemahaman dan kesadaran sebagai petugas polisi. Kesalahan dalam pemahaman bisa fatal akibatnya. Rasionalisasi tugas-tugas kepolisian memang perlu dikonsepkan secara akademik, managerial, maupun operasional sehingga dapat dijadikan framework bagi kerja polisi. Framework inilah yang akan menjadi acuan berperilaku, baik secara adminstrasi, managerial, dan/atau moral.
2.Bagaimana agar apa yang ideal sama dengan yang aktual sehingga apa yang dibuat bisa dihayati dan dijadikan acuan kerja. Pada akhirnya, bukan hanya menjadi pajangan perpustakaan, namun juga diajarkan dan dilatihkan agar menjadi habit dan menjadi kesadaran serta tanggung jawab seluruh anggota kepolisian.
3.Membangun sistem kompetensi dan melakukan perubahan yang mendasar baik di bidang pembinaan maupun operasional.
4.Revitalisasi atas pelayanan prima yang dapat membangun kepercayaan masyarakat. Hal ini dilakukan guna penguatan institusi. Implementasinya berbentuk penjabaran visi dan misi, program, peningkatan kualitas kinerja, birokrasi yang dipraktikkan melalui berbagai kreatifitas yang inovasi-inovatif.
5.Siap bekerja berdasarkan kompetensi untuk jabatan-jabatan tertentu dengan terlebih dilakukan assesment. Penataan ini bertolak dari sistem kinerja berbasis teknologi informasi sehingga bisa cepat, tepat, akurat dan akuntabel dan informatif.
6.Membangun soliditas sebagai bagian dari budaya yang memanfaatkan kearifan lokal.
7.Membangun wadah kemitraan dengan stakeholder terkati untuk bersama- sama mencari akar permasalahan dan menemukan solusi yang tepat dan diterima semua pihak.
8.Membuat program-program kemitraan antara polisi dengan masyarakat maupun dengan stakeholder lainnya.
Pengembangan Ilmu Kepolisian
Tantangan yang dihadapi polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya memang harus dijabarkan dan dilakukan secara bertahap sehingga harapan masyarakat terwujud, adanya polisi dengan pemolisiannya yang sesuai dengan prinsip presisi (prediktif, responsibilitas, transparansi berkeadilan), profesional, cerdas, bermoral, dan modern berbasis pada Ilmu Kepolisian yang pendekatannya antar bidang atau interdisciplinary approach (Suparlan, 2008)

6.Ilmu kepolisian basis model smart policing untuk membahas:
1.Masalah sosial khususnya yang berkaitan atau berdampak pada keteraturan sosial.
2.Hukum dan keadilan
3.Kejahatan dan penanganannya
4.Pemolisian
5.Isu-isu penting yang terjadi dalam masyarakat.
6.Pengetahuan dan kemampuan dasar,umum,dan khusus dalam menjalankan
fungsi kepolisian

7.Mengembangkan Ilmu Kepolisian sebagai suatu disiplin ilmu yang integratif dan interdisiplin di dalam dan di luar kepolisian merupakan cara yang tepat untuk memecahkan masalah demi kepentingan polisi dan masyarakat (Jaschke dan Neidhardt, 2007; Suparlan, 2008). Di dalam pengembangan ilmu kepolisian paradigmanya dapat dilihat secara :
1.Filosofis:
Pengembangan ilmu kepolisian dapat dikaji dan dijelaskan secara epistimologi, ontologi, metodologi maupun aksiologi.
2.Geo politik dan geostrategis
Pengembangan ilmu kepolisian menjadi pilar NKRI dan konteks keamanan dan keteraturan sosial
3.Yuridis
Pengembangan ilmu kepolisian dilandasi aturan hukum dan dapat dikembangkan sesuai dengan perundang undangan yang berlaku
4.Globalisasi dan modernisasi
Pengembangan ilmu kepolisian merupakan suatu kebutuhan atas perubahan yang begitu cepat
5.Akademis
Pengembangan ilmu kepolisian dapat di kembangkan berbagai strata keilmuan (S1, S2 dan S3), pengembangan kepemimpinan dan manajerial, kompetensi khusus dan fungsional (cyber, forensic, extraordinary crime, counter-terrorism)
6.Pragmatis
Ilmu kepolisian dapat dikembangkan pada konsentrasi :keselamatan (safety, contoh: safety driving centre), keamanan (private security, industrial security, public security, cyber security maupun forensic security),

8.Pengembangan ilmu kepolisian, dalam smart policing dapat dikembangkan melalui konsep dan teori dalam konteks:
1.Polisi dan pemolisian
2.Manajemen Keamanan
3.Manajemen Keselamatan
4.Intelejen
5.Hukum dan penegakan hukum
6.Penyelidikan dan penyidikan
7.Forensik
8.Siber dan teknologi kepolisian
9.Kajian konflik sosial
10.Kajian Terorisme
11.Kajian kejahatan luar biasa
12.Teknologi Kepolisian

9.Ilmu kepolisian sebagai ilmu interdisiplin membantu meningkatkan profesionalisme kepolisian dan meningkatkan legitimasinya. Perkembangan ilmu kepolisian sebagai suatu disiplin ilmu yang mapan memberikan landasan yang kuat untuk menciptakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan strategi kepolisian yang efektif, sah, dan berdasarkan bukti empiris (Nägel dan Vera, 2020). Hal ini, pada akhirnya, akan meningkatkan efektivitas dan profesionalisme kepolisian.

10.Model Smart Policing sebagai Penerapan Ilmu Kepolisian dalam Grand Strategy Polri

Implementasi ilmu kepolisian untuk mendukung dan menuju Indonesia Emas, dilakukan melalui kerangka smart policing, dalam membangun manajemen kepolisian yang menekankan penggunaan data dan analitik secara efektif serta meningkatkan analisis, pengukuran kinerja, dan evaluasi; meningkatkan efisiensi; dan mendorong inovasi (Coldren Jr., Huntoon, dan Medaris, 2013). Konsep Smart Policing sendiri muncul secara formal dan resmi, pada tahun 2009, dengan diluncurkannya program penegakan hukum oleh Bureau for Justice Assistance, US Department of Justice. Model ini bertujuan untuk mendukung lembaga penegak hukum dalam membangun taktik dan strategi penegakan hukum berbasis bukti dan berbasis data yang efektif, efisien, dan ekonomis (Smart Policing Initiatives, 2021). Inisiatif ini merepresentasikan pendekatan strategis yang membantu lembaga kepolisian mengetahui apa yang berhasil dalam inisiatif pencegahan kejahatan dan pengurangan kejahatan. Coldren, Huntoon, dan Medaris (2013) dalam penelitiannya menjabarkan smart policing ini

11.Kemajuan ilmu kepolisian, yang ditunjukkan oleh ciri-ciri berikut:
1.Digerakkan secara lokal dan mengedepankan pendekatan berbasis wilayah.
2.Berfokus pada ilmu pengetahuan dan penelitian dalam mempelajari
efektivitas kepolisian.
3.Bersifat multi dimensi.
4.Berorientasi padahasil dan efektivitas strategi yang diterapkan.
5.Berupaya terus menerus untuk berinovasi.

12.Tatkala di era kenormalan baru, kebutuhan untuk menanggapi kriminalitas yang lebih kompleks, membutuhkan lebih banyak keterampilan khusus, dengan meningkatnya permintaan kejahatan dunia maya, yang dihadapkan pada tantangan seputar efisiensi, efektivitas, dan pendanaan (National Police Chiefs Council & Association of Police and Crime Commissioners, 2020). Sifat kejahatan yang tidak mengenal batas negara, serta berbagai hal yang berdampak chaos atau kontra produktif, menuntut polisi untuk bertugas dan meningkatkan pelayanannya secara profesional, cerdas, bermoral, modern, dan fungsional.

Menyikapi tantangan yang muncul, model smart policing hadir sebagai pemolisian model orkestra yang mengharmonikan antara pemolisian konvensional, pemolisian elektronik maupun pemolisian forensik. Smart policing mengatasi berbagai masalah yang kontra produktif dan mengganggu keteraturan sosial maupun peradaban dari masalah kejahatan maupun sosial yang konvensional, masalah siber atau virtual di era digital yang memanfaatkan teknologi mutakhir, serta masalah forensik yang berdampak luas.
Sehubungan untuk menjawab tantangan di era baru ini, sistem pemolisian secara manajemen dan operasional dituntut untuk mampu menjawab kebutuhan perkembangan teknologi, perubahan kondisi, serta berbagai macam risiko yang timbul dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.

13.Smart policing dapat dijabarkan antara lain :
1.Mengharmonikan dan dapat menyatukan antar model pemolisian(policing)
2.Siap memprediksi, menghadapi, merehabilitasi berbagai permasalahan yang mengganggu keteraturan sosial
3.Model pemolisian yang mampu berfungsi untuk lingkungan dan berbagai masalah konvensional, era digital, permasalahan yang berkaitan dengan forensik kepolisian
4.Dapat diimplementasikan ditingkat lokal, nasional bahkan global
5.Mengatasi berbagai gangguan keteraturan sosial yang by design
6.Mengatasi keteraturan sosial dalam dunia nyata maupun dunia virtual
7.Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan publik secara prima dalam one stop service
8.Prediktif, proaktif dan problem solving
9.Menjembatani dan mengatasi dalam berbagai situasi dan kondisi emergency
maupun kontijensi
10.Diawaki petugas polisi yang profesional, cerdas bermoral dan modern

Smart policing dapat diimplementasikan dengan model pendekatan wilayah, model fungsi, model dampak masalah pada ranah birokrasi maupun ranah masyarakat, yang diimplementasikan dalam operasi kepolisian yang bersifat rutin, bersifat khusus maupun kontijensi.

14.Smart policing dalam implementasi conventional policing, e- policing, dan forensic policing secara konseptual ditunjukkan sebagai berikut:
1.Conventional policing
Pendekatan ala polisi konvensional yang manual tradisional, kompetensi petugas sebagai pelindung pengayom yang dilakukan dengan cara pengaturan, penjagaan, patroli, penanganan TKP (tempat kejadian perkara), penanganan kejahatan dari pemeriksaan penggeledahan penangkapan penyitaan hingga pengejaran secara konvensional diperlukan kompetensi dasar untuk pengetahuan maupun ketrampilannya. Penanganan berbagai masalah dengan reaksi cepat, penangan konflik sosial yang melibatkan massa besar, demonstrasi dan konflik sosial, premanisme jalanan (blue collar crime), perkelahian antar warga/ perang kampung, kecelakaan lalu lintas hingga bencana alam. Penanganan secara reaktif dan cara cara fisik masih diperlukan dan dibutuhkan dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial. Kemampuan pemetaan masalah, pemetaan wilayah, pemetaan potensi, bela diri, menembak, kemampuan dasar kepolisian untuk menjaga mengatur serta patroli. Mendatangi dan menangani TKP, menerima laporan dan pengaduan dsb. Penanganan pelayanan kepolisian yang berkaitan pelayanan administrasi, pelayanan hukum, pelayanan keamanan, pelayanan keselamatan, pelayanan informasi dan pelayanan kemanusiaan tetap memerlukan pengetahuan dan kompetensi conventional policing.
2.Electronic Policing (E-policing)
E-policing merupakan program yang berkaitan dengan reformasi birokrasi dan merupakan bagian dari terobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dan kreasi dalam berbagai sistem pelayanan kepolisian baik pelayanan administrasi, pelayanan keamanan, pelayanan keselamatan, dan pelayanan hukum, yang saling terhubung atau online yang mampu memberikan pelayanan secara virtual dan mampu mendukung pemolisian yang konvensional (Dwilaksana, 2020). Landasan dasar E- policing adalah melalui back office (sebagai operation room atau pusat K3I: komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi). Penerapan e-policing didukung oleh aplikasi berbasis Artificial intellegence (AI) juga jaringan sistem yang terintegrasi berbasis internet of things (IoT). Aplikasi yang berbasis AI mampu berfungsi untuk merecognize atau inputing data baik orang, benda, kendaraan, lingkungan hingga aktifititas. Melalui AI dapat dikonstruksi menjadi model untuk ditemukan algoritma yang berupa infografis, statistik, maupun info virtual lainnya. Algoritma dapat berfungsi sebagai prediksi, antisipasi maupun solusi yang dapat diakses secara real time, any time dan on time. Algoritma dapat menjadi landasan atau acuan indeks atau setidaknya sebagai potret visual atas situasi dan kondisi keteraturan sosial. Kompetensi dan pengetahuan bagi petugas siber (cyber cops) yang mengawaki e-policing adalah kemampuan memahami data digital inputing dan analisanya untk menghasilkan algoritma.
Memahami prinsip dasar di era digital dan sistem IT dan proses pembangunan big data, dan sistem terintegrasi menuju one gate service system. Sistem analisa dan algoritma merupakan bagian early warning dan problem solving yang prediktif, antisipatif, serta solutif. Petugas cyber cops akan mengimplementasikan smart management agar pemolisian secara aktual maupun virtual ada suatu sistem yang sejalan saling menguatkan atau saling mendukung. Permasalahan perbankan, permasalahan keuangan, korupsi, terorisme, penyelundupan, pembajakkan, bahkan cyber crime akan terus berkembang sehingga memerlukan polisi siber yang profesional, mampu menganalisa dan menemukan potensi kejahatan. Kejahatan white collar crime tentu dilakukan secara teroganisir dan dilakukan para ahli atau setidaknya kaum yang memiliki kompetensi. Dengan demikian cybersecurity menjadi sangat penting dan memdasar.
3.Forensic Policing
Di era disrupsi perkembangan masalah nuklir, biolgi, maupun kimia, bahkan fisika (nubika). Di sisi lain, hal-hal di bidang sosial dapat menjadi suatu masalah bagi terjaminnya keteraturan sosial. Era post truth dengan senjata hoax juga dapat digunakan untuk menghambat, merusak, bahkan mematikan produktivitas. Oleh sebab itu, forensic policing memerlukan kompetensi dan pengetahuan dasar tentang nubika atau pun permasalahan sosial. Dampak atas penyalahgunaan nubika atau pemanfaatan nubika oleh penjahat yang dapat meneror atau mematikan produktivitas secara masaal dan berdampak luas. Kompetensi para petugas forensic policing secara mendasar yang berkaitan dengan konseptual dan teknik forensik bahkan mampu mengetahui pemanfaatan nubika maupun masalah masalah sosial yang akan dijadikan senjatanya. Kemampuan forensik didukung dengan sistem peralatan yang dapat didukung petugas polisi siber maupun pemolisian yang konvensional. Pelayanan di bidang forensik berkaitan pada sistem security yang dapat dikembangkan pada pengamanan pada sektor privat, industrial, publik, ecological, maupun cyber.
Smart policing menjadi model pemolisian yang senantiasa siap memberikan pelayanan kepada publik dalam berbagai situasi, juga dalam situasi emerjensi maupun kontijensi sekalipun. Sebagai wujud pemolisian yang penelitian terkini pada tingkat global mengenai bagaimana model smart policing dapat diukur dan dinilai kualitas pelayanannya yang dirumuskan pada penelitian Ekaabi et al.

15.Dimensi pengukuran layanan smart policing dapat dilihat dari trasnparansi, integritas, interaksi timbal balik antara polisi dengan masyarakat (interactivity), kecepatan dalam memberi pelayanan mengakomodasi penyelesaian masalah (responsivity), dan kemudahan mengakses pelayanan kepolisian (servicability)
Gambar 1. Dimensi Kualitas Pelayanan pada Model Smart Policing Sumber: Ekaabi et al. (2020)
Smart policing juga mendukung evidence based policing yang berdasarkan riset, penelitian, dan bukti berupa data/fakta sehingga secara konseptual maupun teoritikal dengan berbagai pendekatannya dapat menjadi acuan bagi Grand Strategy Polri. Grand Strategy Polri yang berbasis Smart Policing dapat dibangun secara konseptual, secara fisik, secara scientific, secara infrastruktur dan sistem sistem pendukungnya, selain itu juga pada kurikulum dan pengajarannya, agar tetap fungsional dalam kondisi emergency/darurat sekalipun.
Mengacu pada Smart Policing Initiative (Bureau of Justice Assistance, 2012), strategi penerapan inovasi pada pemolisian dapat dilakukan dengan sistem riset dan pengukuran performa yang komprehensif; menetapkan target strategis yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kepolisian; penggunaan informasi intelijen, riset, dan sumber data lainnya sebagai dasar penerapan kebijakan dan tindakan di lapangan; melakukan transformasi dan pembenahan organisasi secara terus menerus dengan menekankan meritokrasi, kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan; serta melakukan kolaborasi dengan seluruh pihak/stakeholder terkait dengan Polri dalam rangka meningkatkan inovasi dan performa kinerja kepolisian.
Di sisi lain, model smart policing menggambarkan kerangka kerja komprehensif yang dirancang untuk meningkatkan penegakan hukum dan kepercayaan publik melalui sistem intervensi multidimensi (Afzal dan Panagiotopoulos, 2020). Tujuan utama penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban bersatu untuk membangun
kepercayaan publik. Mekanisme inti yang menggerakkan kerangka kerja ini adalah intervensi multidimensi, yang mencakup strategi lingkungan, tindakan penegakan, dan inisiatif keterlibatan komunitas. Intervensi ini didukung oleh berbagai proses, antara lain: konstruksi kejahatan, pendeteksian kejahatan, pengawasan otomatis, dan pemantauan ketegangan otomatis. Masing-masing proses ini didukung oleh analisis informasi data, yang mengintegrasikan data yang diarahkan, data otomatis, dan data yang bersumber dari keramaian. Analis memainkan peran penting dalam mengelola dan menginterpretasikan data ini, mempengaruhi semua proses utama. Selain itu, framework ini menekankan pentingnya mempertimbangkan isu-isu hak asasi fundamental dalam melaksanakan pemolisian, memastikan bahwa upaya menjaga keamanan publik tidak melanggar hak individu. Bagaimana hubungan informasi dan pengaruh, menunjukkan bagaimana intervensi berbasis data mendukung tujuan penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban, yang pada akhirnya membangun kepercayaan publik.

16.Model Smart Policing Sumber: Afzal dan Panagiotopoulos (2020)
Perubahan pola maupun model pemolisian memerlukan grand design dan grand strategi yang dapat dikatakan smart policing, yaitu harmonisasi antara conventional policing, electronic policing atau e-policing dan forensic policing, untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial bagi kemanusiaan dan pembangunan peradaban.

Implementasi Smart Policing dalam Grand Strategy Polri

Polisi dan pemolisiannya dalam perspektif perilaku organisasi sejatinya membuat harmoni dan berbagi kebahagiaan dengan terwujud dan terpeliharanya keamanan dan rasa aman. Institusi merupakan wadah atau badan untuk mencapai tujuan. Tujuan
dibangunnya kepolisian adalah agar terbangun dan terpeliharanya keteraturan sosial. Mengapa keteraturan sosial menjadi sangat penting dan mendasar? Peradaban suatu bangsa dan negara agar rakyatnya mampu bertahan hidup tumbuh dan berkembang atau meningkat kualitas hidupnya diperlukan adanya produktiftas. Produktifitas tersebut dihasilkan dari aktifitas untuk menghasilkan produksi. Di dalam aktivitas tersebut ada ancaman, gangguan, hambatan yang dapat menghambat merusak bahkan mematikan produktifitas tersebut.

17.Ancaman hambatan dan gangguan harmoni dan kebahagiaan dalam sosial kemasyarakatan yang berdampak pada terganggunya aktivitas produksi masyarakat karena adanya:
1.Premanisme
Premanisme tumbuh subur dalam lingkungan yang sarat dengan KKN, ketidak adilan, pendekatan personal, lemahnya penegakkan hukum
2.Berbagai bentuk kejahatan
Kejahatan konvensional, kejahatan transnational, kejahatan yang luar biasa atau extraordinary crime, kejahatan siber, kejahatan jalanan, white collar crime, narkotika .
3.Berbagai bentuk pelanggaran
Pelanggaran administrasi, pelanggaran HAM, pelanggaran operasional dan tata kelola. Munculnya berbagai hal yang ilegal dalam segala lini kehidupan masyarakat.
4.Faktor alam dan lingkungan
Alam dan lingkungan dari bencana alam hingga kerusakan alam lingkungan dari udara, air, tanah, gunung, laut, dan berbagai kawasannya.
5.Faktor sumber daya manusia tingkat kecerdasan dan kualitas sumber daya manusia sangat mendasar bagi terwujudnya keteraturan sosial.
7.Faktor politik dan kebijakan publik yang bersifat kontra produktif jika dijalankan tanpa hati nurani/nilai-nilai keutamaan, serta dipenuhi dengan KKN.
8.Perubahan sosial, globalisasi dan modernisasi
Perubahan begitu cepat menembus batas ruang dan waktu. Hal ini menyebabkan media, teknologi, dan sistem informasi komunikasi saling beradu kekuatan. Timbul era post truth, hoax, serangan siber, dan kejahatan lain yang memanfaatkan perkembangan teknologi dan tidak mengenal batasan negara lagi.
9.Corak masyarakat dan kebudayaannya
Masyarakat yang majemuk akan mengagungkan primordial. Dari situlah legitimasi dan solidaritas dibangun dan mudah diikuti walau kontraproduktif, tidak rasional dan sarat emosional. Tatkala primordial dijadikan alat maka kebencian akan menjadi penyulut konflik sosial bagaikan perang saudara.
10.Sistem pelayanan publik
Pelayanan kepada publik di bidang keamanan, keselamatan, hukum, administrasi, informasi dan kemanusiaan tatkala dalam birokrasi yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) maka akan bersifat kontraproduktif.
11.Sistem ekonomi, industri dan perdagangan.
Point 1 sampai dengan 9 semua akan bermuara pada point 10.
Menghadapi tantangan tersebut, penerapan smart policing yang telah dibahas sebelumnya dalam Grand Strategy Polri dapat dilaksanakan sejak perencanaan dan set of action. Pola pemolisian dapat secara filosofis dan strategis mengacu kepada model community policing. Secara operasionalnya dapat dikategorikan dengan berbasis wilayah, berbasis fungsi, dan berbasis dampak masalah.

18.Smart policing dapat diimplementasikan melalui smart management dan smart operation yang dapat dimulai dari adanya :
1.Sistem monitoring pemetaan dan berbagai bentuk pengawasan seperti CCTV, drone, sensor yang termonitor pada back office sebagai operation room. Sistem monitiring ini dapat dilihat secara real time. Dari sistem monitoring yang ada, data diambil untuk menganalisa wilayah sesuai dengan pengkategorianya.
2.Sistem informasi komunikasi dan laporan atau pengaduan dari masyarakat yang bersifat aduan atas gangguan pelanggaran kejahatan sampai dengan hal kontijensi. Sistem komunikasi ini dapat dibangun melalui berbagai media sebagai penghubungnya agar mudah diakses dan digunakan sesuai dengan kebutuhan. Tatkala yang berkaitan dengan stakeholder lain polisi dapat menjembatani. Untuk permasalahan emergency dan kontijensi polisi dapat memberi solusi cepat.
3.Sistem reaksi cepat yang terintegrasi antara kepolisian, rumah sakit, ambulance, pemadam kebakaran, dan PLN sebagai kesatuan agar dapat bergerak secara terintegrasi dengan skala prioritas dalam menghadapi situasi darurat/emergency.
4.Patroli virtual dan aktual untk memberikan keamanan dan rasa aman bagi warga masyarakat dengan berbagai informasi dan solusinya.
5.Pelayanan publik dikerjakan secara online dan aktual untuk keamanan, keselamatan, hukum, informasi, administrasi maupun untuk kemanusiaan.
6.Melakukan pemanfaatan teknologi dalam melakukan pembenahan organisasi.
Hal ini mengacu kepada penelitian yang dilakukan oleh Schrage et al. (2024) tentang penggunaan artificial intelligence untuk melakukan penyesuaian terhadap key performance indikator bagi seluruh anggota organisasi, antara lain dengan mendefinisikan ulang sistem penilaian kinerja, menggunakan alat ukur yang dinamis, memperbaiki tata kelola penilaian, dan meningkatkan kualitas sistem penilaian.
7.Pengimplementasian program kepolisian pada birokrasi maupun pada masyarakat. Kegiatan ini akan tertata dan terkoneksi serta terkontrol dalam sistem online.
Implementasi smart policing dalam bentuk smart management dan smart operation bagi kepolisian menjadi keunggulan bagi organisasi atas pemberdayaan seluruh sumber daya yang ada dalam sistem one stop service dan berbagai model quick response time.

19.Smart management dan smart operation melalui algoritma dalam bentuk : infografis, info statistik, info virtual untuk memprediksi, mengantisipasi dan memberi solusi secara prima, yang diimplementasikan untuk:
1.Mendukung SPBE(Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik)
2.Implementasi harmoni antara conventional policing, e-policing dan forensic
policing
3.Mendukung back office application yang berbasis AI dan network dalam IoT
agar mampu menghasilkan algoritma
4.Terbangunnya smart livingan dan smart mobility
5.QuickResponseTime
6.Membangun big data system
7.One Stop Service
8.Pelayanan berstandar prima
9.Sinergitas dengan para stakeholder terkait
10.Mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat
Perkembangan model community policing dalam model smart policing juga mendorong strategi organisasi yang mendukung penggunaan kemitraan dan teknik penyelesaian masalah secara sistematis untuk secara proaktif mengatasi kondisi mendesak yang menimbulkan masalah keselamatan publik seperti kejahatan, kekacauan sosial, dan ketakutan akan kejahatan (Polly, 2022). Sehingga, perlu untuk membangun dan menerapkan aspek keamanan dalam kerangka berpikir smart city pada Grand Strategy Polri, antara lain (McKinsey Global Institute, 2018):
1.PredictivePolicing
2.Crime mapping secarareal-time
3.Smart surveillance
4.Optimalisasi emergency response
5.Body worn camera
6.Sistem peringatan dini terhadap bencana
7.Manajemen massa

20.Implementasi Smart Policing dalam Grand Strategy setidaknya mampu diharapkan untuk:
1.Mengharmonikan dan dapat menyatukan antar model pemolisian
2.Memprediksi, menghadapi, merehabilitasi berbagai permasalahan yang mengganggu keteraturan sosial
3.Berfungsi untuk lingkungan dan berbagai masalah konvensional, era digital, permasalahan yang berkaitan dengan forensik kepolisian
4.Diimplementasikan tingkat lokal, nasional bahkan global
5.Mengatasi berbagai risiko gangguan keteraturan sosial yang terjadi secara
lokal maupun global
6.Mengatasi masalah keteraturan sosial dalam dunia aktual maupu virtual
7.Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan publik secara prima
dalam one stop service
8.Prediktif, proaktifdan problemsolving
9.Menjembatani dan mengatasi dalam berbagai situasi dan kondisi emegency
maupun contingency
10.Diawaki petugas polisi yang profesional, cerdas bermoral dan modern

21.Dari point point di atas pola penangangan masalah dengan model smart policing dapat menggunakan pola asta siap yang terdiri dari:
1.Siap piranti lunak sebagai pendukung, payung hukum, pedoman, SOP, dan sistem lainnya
2.Siap posko sebagai backoffice yang berbasis AI dan IoT untuk menggerakkan berbagai aplikasi sehingga mampu menjd pusat k3i.
3.Siap untuk menganalisa berbagai situasi dan kondisi dalam melakukan prediksi, mempersiapkan antisipasi dan solusinya.
4.Siap SDM yang mengawaki sebagai yang mampu menghasilkan produk, analisis, dan kebijakan.
5.Siap jaringan sampai ke bagian terkecil yang berbasis wilayah, berbasis kepentingan, fungsi, hingga yang berbasis dampak masalah.
6.Siap mitra sebagai soft power untuk menggerakkan berbagai tindakan preemtif preventif, represif hingga rehabilitasi
7.Siap logistik sebagai sarana prasarana yang berbasis IT untuk perorangan, kelompok, maupun kesatuan.
8.Siap anggaran secara budgeter maupun non-budgeter.

22.Pengembangan model smart policing dalam strategi ini perlu disesuaikan dengan corak masyarakat dan kebudayaannya, juga dengan situasi dan kondisi wilayahnya. Model ini juga bisa digunakan sebagai landasan pengembangan atas penanganan masalah bencana, konflik maupun kerusakan infrastruktur yang berdampak pada kehidupan sosial kemasyarakatan secara prima (cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses). Calam (2017) menekankan bahwa pemolisian yang efektif sangat vital pada masyarakat yang berfungsi dengan baik, sehingga dalam menghadapi tantangan-tantangan terkini dapat dihadapi sukses, diperlukan upaya transformasi terpadu dalam menerapkan sistem smart policing dan

23.ilmu kepolisian yang melibatkan seluruh anggota kepolisian, setidaknya dalam 6 prinsip yaitu:
1.Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan anggota kepolisian untuk menghadapi tantangan abad ke-21
2.Menempatkan analisa data dan informasi sebagai unsur utama bagi organisasi dalam menjalankan fungsinya.
3.Mengintegrasikan teknologi untuk memaksimalkan kinerja.
4.Mengoptimalkan seluruh struktur dan proses organisasi.
5.Berkolaborasi dengan stakeholder terkait untuk menghasilkan yang terbaik
bagi masyarakat
6.Meningkatkan engagement dengan masyarakat (terutama secara digital)
dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik.

24.Dengan melakukan hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya, dibutuhkan SDM kepolisian yang memiliki literasi/kesadaran tinggi terhadap hakekat, keutamaan, dan tugas pokoknya sebagai polisi, sehingga mampu memahami dan menjalankan Grand Strategy atau pun model smart policing yang bertujuan meningkatkan kualitas performa dan pelayanan bagi masyarakat dan seluruh stakeholder, sehingga dapat mewujudkan harapan masyarakat bagi Polri ke depan. Pemberdayaan literasi terhadap teknologi, kepolisian, kepemimpinan, dan kapabilitas dapat dijalankan dengan pendidikan, pelatihan, atau mentoring untuk memanfaatkan inovasi, teknologi, dan data sebaik-baiknya untuk pencegahan kejahatan, memberikan kepastian hukum, meningkatkan keamanan dan keselamatan publik, serta meningkatkan efisiensi secara keseluruhan (Potter, 2023). Peran pemimpin menjadi krusial dalam memulai transformasi organisasi, mengarahkan anggotanya untuk mewujudkan visi besar ini serta menjadi contoh bagi seluruh anggotanya (Dwilaksana, 2012). Harapan ke depannya, kepolisian harus mampu diorganisir pada tingkat komunitas, regional dan global, selalu dipimpin oleh prinsip supremasi hukum, semakin mampu membangun kerja sama nasional dan internasional yang efektif, terus membangun organisasi yang kuat dan baik di domain fisik maupun digital (Interpol, 2022), sehingga dapat mewujudkan peningkatan kepercayaan dan kepuasan publik terhadap Polri.
Penutup

Menjadi polisi yang profesional, cerdas, bermoral, terliterasi, kompeten, dan modern merupakan proses panjang yang setidaknya dimulai dari pemikiran-pemikiran visioner yang luar biasa atau berbeda dengan pemikiran-pemikiran pada umumnya. Hal ini perlu diwujudkan dalam birokrasi yang rasional, kepemimpinan yang visioner, transformasional, dan problem solving dalam membangun model smart policing. Selain itu juga diawaki SDM yang profesional yang memiliki attitude yang baik dan sebagai pekerja keras dan pembelajar serta mindset sebagai polisi ideal, sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan pejuang kemanusiaan sekaligus. Hal ini ditunjukkan pada birokrasi yang mempunyai tata kelola lembaga prima yang memiliki program-program unggulan yang inspiratif, inovatif, kreatif serta dinamis untuk senantiasa mampu belajar dan memperbaiki kesalahan masa lalu, siap menghadapi tuntutan, kebutuhan tantangan, ancaman serta harapan masa kini, mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik. Dukungan infrastuktur dengan teknologi yang modern masih dapat memberikan pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Yang perlu menjadi perhatian juga adalah penerapan nilai sejak perencanaan, monitoring, hingga evaluasi untuk senantiasa dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, sehingga mampu memberikan jaminan keamanan dan rasa aman bagi warganya untuk bertahan hidup tumbuh dan berkembang, atau meningkat kualitas hidupnya. Dengan terwujud dan terpeliharanya stabilitas keamanan dalam negeri dan kepastian hukum pada akhirnya menjadi salah satu penentu dalam mewujudkan visi Indonesia Emas.**

Share