Dugaan Perundungan Dokter: Kemenkes Jangan Trial the Press, Hentikan PPDS dan Layanan Klinis Merugikan Publik
TRANSINDONESIA.co | Mencermati dugaan perundungan dokter peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (UNDIP), penyelidikan harus presisi dan saintifik, obyektif, jangan bias. Polri tidak terpengaruh trial by the press. Berikut pernyataan Perhimpunan Profesional Hukum dan Kesehatan Indonesia.
1. Kasus apapun, termasuk jika benar dugaan perundungan dokter PPDS, mustinya diselidik dan disidik dengan obyektif dan presisi. Dengan saintifik, yang mencari kebenaran fakta dengan jujur dan adil. Tidak bias, over acting dan jauhkan dari anasir drama.
2. Pastikan usut mengusut dugaan perundungan PPDS itu hanya untuk mencari fakta yang sebenar-benar fakta hukum (really legal facts). Harus menahan diri umbar spekulasi apalagi jika data sumir, belum/ tidak teruji sebagai fakta hukum. Fakta bukan opini. Fakta menjadi fakta hukum jika valid dan lulus diuji dengan presisi, saintifik, dan patuhi hukum acara. Umbar opini yang belum teruji berbahaya bagi penegakan hukum yang adil, bahkan ada konsekwensi hukum jika merugikan hak hukum orang lain.
3. Percayakan penyelidikan dugaan perundungan kepada dokter ARL peserta PPDS itu kepada penyelidik Polri, yang bekerja profesional, saintifik, presisi, tanpa intervensi. Publik mengawasi, masyarakat mencermati, maka perlu kepastian hukum yang adil, yang tidak bias, apalagi tergopoh stigmatisasi, berlebihan, info sumir yang bukan fakta yang belum teruji sebagai sebenar fakta hukum. Sebab, penyedilikan apalagi penyidikan untuk membuat terang duduk perkara yang wajib mematuhi hukum acara, menilai fakta obyektif bukan subyektif, tidak membawa sak wasangka atau prejudice, tentu tidak semberono mengatasnamakan investigasi apalagi tanpa menerapkan hukum acara.
4. Semua pihak menahan diri umbar fakta yang tidak teruji sebagai fakta hukum kepada publik, karena bisa merugikan orang/pihak lain, mempengaruhi jalannya. pemeriksaan. Jauhkan penyedidikan dari aksi opini apalagi sampai trial by the press. Tidak bijak tebarkan fakta yang valitasnya tidak/ belum diuji, tebar tanpa konfirmasi, tidak dikonfrontir dengan pihak yang dikait-kaitkan. Fakta apapun dalam kasus apapun, wajib diperiksa dengan presisi, diperoleh dengan saintifik, diuji dengan kausalitas, diperoleh dengan mematuhi hukum acara.
5. Jika merujuk keterangan dari Kapolrestabes Semarang kepada media, tidak ada bukti adanya perundungan dalam kasus meninggalnya dokter ARL peserta PPDS UNDIP. Karena itu hormati wewenang penyelidik Polri bekerja dengan profesional, saintifik dan presisi. Tidak berdasar opini yang merugikan orang lain.
6. Tidak berdasar menurut hukum tergopoh Kemenkes menghentikan program PPDS Anestesi UNDIP. Karena, (1) institusi yang menyelenggarakan PPDS itu tidak bersalah, tidak ada yang diputus bersalah; (2) Program PPDS UNDIP itu domein pendidikan profesi; (3) Penghentian itu, walau sementara telah abaikan mandatory tugas rumah sakit pendidikan, dan tidak sah menurut hukum (unlawfull). (4) Tindakan itu merugikan layanan klinis, peserta PPDS, pasien, dan masyarakat luas. (5) Pelayanan klinis adalah kewajiban hukum Negara (state obligation) atas kesehatan rakyat yang dimandatkan via fasilitas kesehatan rumah sakit. Keselamatan dan kesehatan rakyat tanggungjawab asli Negara. Walau, tidak bisa dilupakan upaya tindakan dan merawat pasien itu kemuliaan Sumpah Dokter –yang menjadi profesi di garda depan, dengan egaliter tanpa diskriminasi, serta dedikasi dokter memenuhi tanggungjawab konstitusional Negara, karena itu dokter wajib dilindungi. Pelayanan klinis musti diutamakan, tidak boleh berhenti karena kausal keselamatan pasien.
Demikian disampaikan
Jakarta, 3 September 2024.
Ketua Perhimpunan Profesi Hukum dan Kedokteran
Advokat Muhammad Joni, SH.MH.
Kontak: 0818 190 292 Email: jonitanamaslaw@gmail.com