Polisi dan Pemolisiannya Menuju Indonesia Emas 2045

TRANSINDONESIA.co | Oleh: Chrysnanda Dwilaksana 

Di era digital semua serba berbasis aplikasi yang ada di dalam gadget atau smart phone. informasi komunikasi koordinasi bahkan komando pengendalian pun bisa dilakukan. Perkembangan AI yang begitu masif dapat mengatasi berbagai pekerjaan konvensional dengan kuantitas dan kualitas prima. Sejalan dengan erva vuca yang voltality, unpredictable, complexicty, ambiguity maka pola pemolisian konvensional manual parsial akan dianggap tidak profesional dan besar potensi penyimpangannya.

Di era kenormalan baru mau tidak mau polisi dalam pemolisiannya harus berubah. Tatkala bertahan pada status quo maka akan tergerus jaman. Belum lagi polisi akan terdadak dadak dengan berbagai kejadian yang memerlukan sistem pelayanan yang cepat tepat akurat transparan akuntabel informatif dan mudah diakses. Pelayanan kepolisian melalui pemolisiannya di bidang keamanan, keselamatan, hukum, administrasi, informasi, dan kemanusiaan tentu dituntut adanya perubahan.

Perubahan pemolisian tersebut tentu aja memerlukan grand design yang dapat dikatakan mengharmonikan antara model ” conventional policing, electronic policing atau e policing atau pemolisian elektronik di era digital dengan forensic policing”

Model e policing dibangun dengan adanya pilar sbb: back office, aplication dan network yang berbasis internet of things (IOT) dan artificial intellegence (AI) agar mampu mewujudkan big data dan one stop service system dengan standar pelayanan prima. Tatkala membangun berbagai sistem aplikasi standar AI adalah mampu merecognize atau menginput data menganalisa sehingga mampu menunjukkan produk kecanggihannya dalam algoritma yang berwujud info grafis info statistik dan info virtual lainya yang real time and any time bahkan on time.

Grand design e policing secara garis besar dapat dibagi dua yaitu pada komunitas dan lalu lintas. E policing pada komunitas dapat dibangun dengan meodel “comnunity policing secara virtual”. Konsep geographical community dan community of interest maupun pemolisian yang berbasis dampak masalah dapat dikembangkan sesuai pengkategorian corak masyarakat dan kebudayaannya. Sentra sentra pelayanan publik dapat dibangun dengan sistem K3i yang dikendalikan melalui back office, dengan adanya Call centre dan comand centre berbasis pada peta digital dengan iot dan AI  semua laporan informasi terekam dalam jejak digital (digital record).

E-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi. Bisa juga dipahami e-policing sebagai model pemolisian yang membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian E-Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatf dan mudah diakses. E-Policing bisa menjadi strategi inisiatif anti korupsi, reformasi birokrasi dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena dengan sistem-sistem online dapat meminimalisir bertemunya person to person.

Dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang administrasi contohnya sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking, atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification). E-policing juga dikatakan sebagai reformasi birokrasi, karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit yang mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang pelayanan informasi dan komunikasi melalui internet. Dalam hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat diselenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang dibuat melalui intranet/ internet juga misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat, atau juga dalam Traffic Management Centre (TMC)  baik melalui media elektronik, cetak maupun media sosial bahkan secara langsung sekaligus.

Adapun pada lalu lintas dpt dilakukan melalui IT for Road safety melalui ERI, SDC, SSC, TMC dan INTAN

Pada era digital ini, e-policing sebagai pemikiran tentang model pemolisian sangat penting bagi pengembangan fungsi lalu lintas dalam rangka melaksanakan amanah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Sesuai manat UU ini, pengembangan lalu lintas bertujuan: (1) mewujudkan dan memelihara keamanan dan keselamatan serta ketertiban dan kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas); (2) meningkatkan kualitas keselamatan dan menurunkan tingkat fatalitas korban kecelakaan; (3) membangun budaya tertib berlalu lintas; dan (4) meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat di bidang LLAJ.

Kita sadari bersama, lalu lintas merupakan urat nadi kehidupan, cermin budaya bangsa dan tingkat modernitas pada transportasi, yang menjadi satu kesatuan dari kegiatan atau aktifitas manusia. Dengan demikian, pada bidang lalu lintas perlu dibangun model pemolisian yang merupakan penjabaran dari e-policing sebagai strategi pembangunan  pemolisian di era digital.

Implementasi e-policing pada fungsi lalu lintas dijabarkan sebagai berikut:

1.Electronic Regident (ERI): suatu sistem pendataan regident secara elektronik yang dikerjakan pada bagian BPKB sebagai landasan keabsahan kepemilikan dan asal usul kendaraan bermotor. Legitimasi keabsahan asal-usul kendaraan bermotor memang bukan hanya ditangani pihak kepolisian saja, tetapi terkait dengan Bea Cukai, Departemen Perindustrian, Departemen Perhubungan, dan dealer kendaraan bermotor. Sekalipun demikian, dibutuhkan catatan kepolisian dengan verifikasi dokumen dan cek fisik kendaraan bermotor. Cek fisik mencakup cek fisik kendaraan secara umum, transmisi, dan emisi gas buang. Verifikasi dokumen dilakukan untuk pelayanan keamanan; dan cek fisik untuk pelayanan keselamatan.

Kemudian dilanjutkan pada bagian STNK dan TNKB sebagai legitimasi pengoperasionalannya. TNKB dapat dibangun melalui Automatic Number Plate Recognation (ANPR). Database kendaraan secara elektronik ini saling berkaitan dengan fungsi kontrol dan forensik kepolisian dalam rangka memberikan pelayanan prima. Dari ERI dapat dikembangkan menjadi program-program pembatasan, pengoperasionalan Electronic Road Pricing (ERP), Electronic Toll Collect (ETC), e-parking, e-banking. Hal ini akan menerobos serta memangkas birokrasi Samsat karena hukum diterapkan secara elektronik melalui Electronic Law Enforcement (ELE).

2.Safety Driving Centre (SDC): suatu sistem yang dibangun untuk menangani pengemudi atau calon pengemudi yang membutuhkan Surat Izin Mengemudi (SIM) melalui sistem elektronik. Sistem SDC berkaitan dengan ERI (yang dapat  dikembangkan dalam Regident Centre (RIC). Sistem ini dapat digunakan sebagai bagian dari fungsi dasar regident yakni memberi jaminan legitimasi (kompetensi untuk SIM), fungsi kontrol, forensik kepolisian, dan pelayanan prima kepolisian.

3.Safety Security Centre (SSC): suatu sistem elektronik yang mengatur pelayanan kepolisian di bidang lalu lintas, khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan. Sistem ini dijalankan oleh Subdit Penegakan Hukum (Gakkum) dan Dikyasa dan Subdit Keamanan Keselamatan (Kamsel). Sistem data dan jaringan informasi akan dikerjakan oleh Traffic Management Centre (TMC).

4.Traffic Management Centre (TMC): sistem ini merupakan Pusat Komando, Kendali, Komunikasi, dan Informasi (K3I) untuk memberikan pelayanan cepat (quick response time) yang dapat mengedepankan Satuan PJR, Pamwal, Gatur, dan juga para petugas Satlantas di tingkat Polres maupun Polsek.

5.INTAN sebagai Implementasi Back Office-aplikasi-network untuk Pelayanan Prima

Dalam era digital sistem back office, aplikasi dan network merupakan model untuk mengimplementasikan pelayanan prima (cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses). Dalam back office ada : 1. sistem filling and recording (database) yang dapat dikategorikan sebagai situpak : a. Situasi (peta/ pemetaan), b. Tugas-tugas pokok (job description dan job analysis), c. Pelaksanaan tugas (sistem pengoperasionalan : rutin, khusus dan kontijensi), d. Sistem administrasi (SDM, perencanaan, sarpras, anggaran), e. Pelaporan, f.  Pusat K3i (kodal, koordinasi, komunikasi dan informasi) : 1) Kodal (komando dan pengendalian) berisi sistem aplikasi untuk : a) Mengawasi, memantau, b) Struktur komando/perintah, c) Analisa pengoperasionalan sehingga akan cepat dan memudahkan di dalam memberikan response. 2) Koordinasi : berisi sistem aplikasi jejaring/ network baik dalam internal maupun eksternal sebagai soft power, 3) Komunikasi : berisi sistem aplikasi komunikasi secara langsung/ melalui media baik dari internal ke eksternal maupun dari eksternal ke internal, 4) Informasi : berisi sistem aplikasi : a) filling and recording (sistem pencatatan dan pendataan), b) searching (cari dan temu), c) filtering (pengkategorian/pengelompokan), d) ratting (peringkat), e) timming (waktu), emergency (darurat), f) early warning (peringatan dini), g) kontijensi (faktor alam, faktor kerusakan infrastuktur dan faktor manusia yang berdampak luas), h) rayonisasi.

Forensic Policing

Pemolisian dalam era kenormalan baru pendekatan forensik menjadi suatu kebutuhan dengan membangun “forensic policing”. Forensic Policing merupakan model pemolisian untuk menghadapi berbagai permasalahan keteraturan sosial atas serangan atau gangguan yang di desain sedemikian rupa dari berbagai cara yang berbasis nubika ( nuklir, biologi, kimia, fisika) maupun dari berbagai masalah sosial (idiologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keselamatan, dsb). Di samping hal tersebut juga sebagai membangun polisi super/ super cops yaitu polisi dengan pemolisiannya memiliki kompetensinya berkualitas tinggi yang mampu mengatasi berbagai masalah keteraturan sosial dengan dampak luas dan bereskalasi tinggi yang mampu memberikan pelayanan kepada publik secara prima dalam situasi emerjensi.

Di era digital polisi super ini mampu bekerja dalam smart policing yang ada harmoni antara  aktual,  virtual maupun secara forensik. Secara aktual dapat dikategorikan dalam hal pemolisian yang manual atau bisa dikategorikan konvensional dan masih bertemu face to face atau less technology. Pemolisian secara virtual dapat dikategorikan model E Policing atau pemolisian secara elektronik yang berbasis pada back office, aplication (dengan artificial intellegence) dan net work ( berbasis internet of thing) untuk mendukung terbangunnya big data system dan one stop service system.

Pemolisian forensik dalam konteks kenormalan baru dapat dikembangkan dalam berbagai model pola pemolisiannya maupun penyiapan petugas kepolisian yang berbasis  replika genetika.

Polisi super dalam konteks aktual, virtual dan forensik merupakan basis bagi polisi dan pemolisiannya karena dalam era digital sekalipun cara aktual masih diperlukan dan kemampuan dasar pada penanganan kejahatan konvensional diperlukan polisi yang tangguh secara fisik atau otot prima. Pemolisian virtual maupun forensik diperlukan otak atau kemampuan secara intelejensia tinggi untuk mampu menghadapi kejahatan siber maupun kejahatan biologi, kimia nuklir maupun kejahatan di era kenormalan baru. Pelemahan atas pertahanan suatu bangsa dapat dimulai menggerus dari sumber dayanya, keamanan dan rasa aman. Masalah nuklir biologi kimia dan fisika ( nubika) maupun sosial pun menjadi trend kejahatan baru yang dapat menlumpuhkan produktifitas masyarakat dan memicu terjadinya konflik sosial yang besar.

Pandemi covid 19 yang melanda hampir di seluruh dunia mampu melemahkan bahkan mematikan secara fisik maupun psikis. Kekuatan polisi super ini tentu juga dituntut memiliki spirit sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban sekaligus pejuang kemanusiaan.

Membangun polisi super tentu memerlukan energi besar dari proses rekrutmen, proses pembentukan, proses edukasi, proses penggunaannya, merupakan pemikiran prof satjipto rahardjo yang memikirkan bagaimana seorang petugas polisi memiliki otak otot dan hati nurani sebagai bhayangkara sejati (penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan sbg pejuang kemanusiaan).

proses rekrutmen, proses pembentukan, proses edukasi, proses penggunaannya, proses pemeliharaan dan perawatan  hingga proses pengakhiran diprososes pemeliharaan dan perawatan hingga pengakhiran dinas. Polisi super dikembangkan dan dibangun secara O2H (otak otot dan hati nuraninya).

Pemolisian di era digital kita dapat mengenal dan memahami E policing atau pemolisian yang on line dan berbasis elektronik. Sistem big data menjadi bagian one stop service. Di samping E policing kita perlu memahami dan mengembangkan forensic policing.

Forensic policing dibangun dan dikembangkan berbasis pada ilmu pengetahuan secara makro maupun mikro sebagai model pemolisian yang berkaitan dengan nuklir, biologi, kimia, fisika (nubika), ilmu sosial maupun ilmu ilmu lainnya.

Masalah keteraturan sosial yang terganggu atau terhambat bahkan rusak akibat nubika atau dampak masalah sosial perlu penanganan secara profesional tidak sebatas kulitnya melainkan sampai dengan tingkat yang paling mendasar. Dampak dari nubika dan sosial sangat luas yang berdampak pada hidup dan kehidupan sosial kemasyarakatan. Petugas kepolisian forensik ditumbuhkembangkan secara komprehensif mulai dari rekrutmen pendidikan penggunaan hingga pengakhiran dinasnya. Satuan tugas identifikasi, satuan tugas nubika, laboratorium forensik maupun penelitian dan pengembangan dapat menjadi pendukung forensic policing.

Di masa kenormalan baru seperti pandemi covid 19 sekarang ini bisa dikatakan kegiatan sosial kemasyarakatan terdampak bahkan ada yang mati sama sekali tidak lagi bisa bertahan. Covid 19 mematikan manusia sebagai mahkluk sosial karena tingkat penularannya yang tinggi dan untuk menghambat penularannya diperlukan physical distancing bahkan social distancing. Tatkala kita teliti lebih mendalam covid 19 merupakan virus yang menyebar begitu cepat dan dapat menimbulkan kematian. Covid 19 mungkinkah masalah lain di era kenormalan baru muncul? Ada banyak kemungkinan dari masalah listrik, masalah internet, masalah udara, air dsb bisa menjadi ini suatu pandemi baru atau produk rekayasa untuk meneror dunia

Forensic policing (FP) dapat dibangun melalui:

1.Political will ( dukungan keputusan politik)

2.Kepemimpinan yg kebijakkannya berpihak pada pengembangan FP

3.Penyiapan konsep dasar hingga pengembangannya

4.Penyiapan SDM yg akan mengawaki ( dari rekrutmen pendidikan dan latihan penggunaan perawatan hingga pengakhiran atau purna tugas)

5.Peralatan pendukung ( laboratorium forensik dsb)

6.Program program riset atau penelitian bagi pencegahan penanganan hingga rehabilitasi dampak rekayasa nubika

7.Tim transformasi sbg support team yg mendukung scr konseptual maupun manajerial

8.Membuat model model implementasi dalam suatu pilot project

9.Penyelenggaraannya perlu di monitor dan trs dievaluasi

10.Pola pengembangannya disesuaikan dengan model-model untuk prediksi antisipasi serta solusinya

Menjadi polisi yang profesional, cerdas, bermoral dan modern merupakan proses panjang yang setidaknya dimulai dari pemikiran-pemikiran visioner yang luar biasa atau berbeda dengan pemikiran-pemikiran pada umumnya dalam birokrasi yang rasional (berdasar pada kompetensi), kepemimpinan yang visioner, transformasional dan problem solving dalam membangun model pemolisian di era digital dengan berbasis pada sistem online (Electronic Policing).

Selain itu juga diawaki SDM yang profesional yang memiliki attitude yang baik dan sebagai pekerja keras dan pembelajar serta mind set sebagai polisi ideal (penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus). Hal ini ditunjukkan pada birokrasi yang mempunyai Tata Kelola Lembaga Prima (National Class Institution) yang memiliki program-program unggulan yang inspiratif, inovatif, kreatif serta dinamis untuk senantiasa mampu belajar dan memperbaiki kesalahan masa lalu, siap menghadapi tuntutan, kebutuhan tantangan, ancaman serta harapan masa kini, mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik.

Dukungan infrastuktur dengan teknologi yang modern masih dapat memberikan pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Yang perlu menjadi perhatian juga dalam penganggaran yang terus diperbaiki nilai sejak perencanaan, monitor dan evaluasi untuk senantiasa dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian. Dengan demikian dapat mendukung terwujud dan terpeliharanya stabilitas keamanan dalam negeri.

Keberhasilan mengubah pola pikir dan budaya polisi terletak pada  edukasi yang berkualitas, kepemimpinan yang tegas, penegakkan hukum yang konsisten, serta sikap yang transparan dan akuntabel.

Smart policing yang mengharmonikan antara conventional policing, E policing dan Forensic pokicing, bukan dimaksudkan untuk menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya. Smart Policing justru untuk menyempurnakan, meningkatkan kualitas kinerja sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern  sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan  sekaligus. Smart Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik dan forensik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.

Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: Cepat, Tepat, Akurat, Transparan, Akuntabel, Informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya.

Pembahasan Smart Policing dapat dikategorikan dalam konteks: 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).

Unsur-unsur pendukung dalam membangun E-Policing : a) Komitmen moral; b) Political Will; c) Kepemimpinan yang transformatif; d) Infrastruktur (hardware dan software) sebagai Pusat data, informasi, komunikasi, kontrol, koordinasi, komando dan pengendalian; e) Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi (K3i) melalui IT dan untuk kontrol situasi; f) Petugas-petugas polisi yang berkarakter (yang mempunyai kompetensi, komitmen dan unggulan) untuk mengawaki untuk yang berbasis wilayah, menangani kepentingan dan dampak masalah; g) Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat rutin, khusus maupun kontijensi, (tingkat manajemen maupun operasionalnya); h) Tim transformasi sebagai tim kendali mutu, tim backup yang menampung ide-ide dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran kebijakan-kebijakan dari atas (top down). Tim ini sebagai dirigen untuk terwujudnya harmonisasi dalam dan di luar birokrasi. Dan melakukan  monitoring dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan maupun menghasilkan program-program baru; i) Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari  pengembangan untuk update, upgrade dan mengantisipasi dinamika disrupsi, era vuca dengan perubahan yang begitu cepat, maka polisi dalam pemolisiannya setidaknya satu langkah lebih maju dari perubahan perubahan itu.**

 

Tegal Parang 150624

Share