UKT Mahal dan Pendidikan Tinggi Kebutuhan Tertier, Sembrono dan Tidak Solutif!

TRANSINDONESIA.co | Keluhan dan penolakan atas kenaikan biaya UKT di berbagai kampus negeri sedang ramai terjadi. Sayangnya tanggapan pemerintah justru terkesan berlepas tangan. Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie, menyebut pendidikan tinggi adalah _tertiary education_, bukan wajib belajar yang merupakan prioritas bagi Pemerintah.

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah menyayangkan hal tersebut. Dia bahkan menganggap ungkapan tersebut sebagai sembrono, tidak solutif dan tidak nyambung.

“Masyarakat terutama orang tua dan mahasiswa sedang mengeluhkan biaya UKT yang naik berkali-kali lipat jadi mahal. Tidak terjangkau bagi banyak keluarga, sampai sudah ada korban _drop out_. Tapi pemerintah malah berkelit kalau kuliah itu _tertiary education_ , pilihan pribadi untuk lanjut ke jenjang lebih tinggi, bukan prioritas pemerintah. Reaksi ini menurut saya sangat sembrono, tidak solutif dan ibarat _Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung, Jek_,” ungkap Ledia dikutip dalam keterangannya, Jumat (24/5/2024).

Ledia melanjutkan dari reaksi pemerintah tersebut jadi muncul pertanyaan: apakah karena pendidikan tinggi bukan wajib belajar, bukan prioritas pemerintah, maka terserah saja mau naik berapa UKT-nya, terserah saja mau semahal apa, terserah mahasiswa sanggup lanjut kuliah atau _drop out_, karena semua itu adalah pilihan.

Reaksi pemerintah menanggapi mahalnya kenaikan UKT dengan mengingatkan soal _tertiary education_ itu menurut Ledia menjadi tidak nyambung karena status PTN itu jelas Perguruan Tinggi Negeri yang berada di bawah naungan negara, yang artinya negara harus siap, harus mau, mengawasi implementasi regulasi penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

“Sudah seharusnya penentuan nilai harga satuan biaya operasional pendidikan dikontrol oleh pemerintah. Kalau tidak dikontrol dan diawasi, maka akses pendidikan tinggi di Indonesia semakin sulit dijangkau, khususnya bagi masyarakat yang memiliki status ekonomi menengah ke bawah. Cita-cita mendulang Generasi Emas 2045 pun bisa hanya tinggal mimpi,” tegas legislator asal dapil Jawa barat I ini pula.

Ledia kembali mengingatkan bahwa Perguruan Tinggi Negeri merupakan investasi negara terhadap tumbuh kembang masa depan generasi bangsa, bukan bisnis negara. Karenanya negara harus hadir dalam memberikan kemudahan akses pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, bukan untuk sekadar memenuhi kebutuhan pasar.

“Untuk mendapat memanfaat bonus demografi dan memanen SDM unggul Indonesia Emas 2045, maka prioritas kita tentulah bagaimana generasi muda mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik, dengan pelayanan terbaik, dan dengan alokasi yang terbaik,” ungkapnya.

Karenanya menurut Sekretaris Fraksi PKS ini dua hal harus terjadi secara simultan, pertama Negara harus hadir lewat regulasi yang membantu PTN agar bisa mendiri sekaligus mendorong terbukanya akses pendidikan dan kedua Perguruan Tinggi juga harus mampu memberdayakan badan usaha agar beban operasional pendidikan tinggi tidak sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa.[man]

Share