ADB: Perekonomian Asia–Pasifik Diproyeksikan Tumbuh 4,9% pada 2024

TRANSINDONESIA.co | Perekonomian negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik pada 2024 ini diperkirakan tumbuh rata-rata 4,9 persen karena pertumbuhan kawasan itu masih berlanjut di tengah kuatnya permintaan domestik, membaiknya ekspor semikonduktor dan pulihnya dunia pariwisata.

Laporan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) berjudul “Asian Development Outlook April 2024” yang dirilis pada Kamis (11/4) memproyeksikan laju inflasi akan melandai pada 2024dan 2025, setelah sempat melesat karena peningkatan harga pangan di sebagian negara selama dua tahun terakhir.

Pertumbuhan yang lebih kuat di Asia Selatan dan Asia Tenggara tersebut juga didorong oleh permintaan domestik dan ekspor untuk mengimbangi perlambatan pertumbuhan di China akibat kemerosotan pasar properti dan melemahnya konsumsi.

India diperkirakan akan tetap menjadi mesin pertumbuhan penting di Asia dan Pasifik, dengan pertumbuhan 7 persen tahun ini dan 7,2 persen pada tahun depan. Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan melambat menjadi 4,8 persen tahun ini dan 4,5 persen tahun depan, dibandingkan pertumbuhan 5,2 persen pada 2023.

“Kami berpandangan bahwa pertumbuhan pada mayoritas perekonomian di kawasan Asia yang sedang berkembang akan stabil pada tahun ini dan tahun berikutnya. Keyakinan konsumen masih membaik dan investasi secara keseluruhan masih kuat. Permintaan eksternal pun tampaknya sudah berbalik positif, terutama dalam hal semikonduktor,” kata Kepala Ekonom ADB Albert Pak.

Namun, laporan itu juga mengingatkan para pembuat kebijakan agar tetap waspada karena masih ada sejumlah potensi risiko, antara lain gangguan rantai pasokan, ketidakpastian kebijakan moneter Amerika, efek cuaca ekstrem, dan berlanjutnya pelemahan pasar properti di China.

Inflasi di kawasan Asia dan Pasifik yang sedang berkembang diperkirakan akan melambat menjadi 3,2 persen tahun ini dan 3,0 persen pada tahun depan, seiring berkurangnya tekanan harga global dan masih cukup ketatnya kebijakan moneter di banyak negara. Selain China, inflasi di kawasan ini masih lebih tinggi dibandingkan sebelum meluasnya pandemi Covid-19.

Laporan ADB juga menunjukkan bahwa harga beras turut berkontribusi pada tingginya inflasi harga pangan, terutama bagi perekonomian yang bergantung pada impor. Harga beras kemungkinan akan tetap tinggi tahun ini karena beberapa faktor, antara lain gagal panen akibat cuaca buruk, pembatasan ekspor beras oleh pemerintah India, kenaikan biaya pengiriman global akibat serangan terhadap kapal-kapal laut yang melintasi Laut Merah dan masih terus terjadinya kekeringan di Terusan Panama.

ADB mengatakan untuk mengatasi kenaikan harga beras dan melindungi ketahanan pangan, negara-negara (di Asia dan Pasifik) dapat memberikan subsidi yang ditargetkan kepada populasi rentan dan meningkatkan transparansi serta pemantauan pasar guna mencegah manipulasi harga dan penimbunan.

Dalam jangka menengah dan panjang, tambah ADB, kebijakan perlu difokuskan pada penciptaan cadangan beras strategis guna menstabilkan harga, mempromosikan pertanian berkelanjutan dan diversifikasi tanaman pangan, serta menanamkan investasi pada teknologi dan infrastruktur pertanian. Kerja sama regional juga dapat membantu dalam mengelola harga beras dan dampaknya, papar laporan tersebut. [voa]

Share