Penyandang Disabilitas, Polisi dan Pemolisiannya

TRANSINDONESIA.co | Disrupsi selain cepat juga berdampak pada berbagai produktifitas dalam kehidupan juga pada keteraturan sosial. Tatkala pengendalian atau penanganan atas disrupsi polisi dalam pemolisiannya dituntut mampu mengatasi berbagai dampak yang kontra produktif dan meganggu keteraturan sosial maupun masalah kemanusiaan.

Di sinilah perlu ada pemikiran bagaimana polisi dan pemolisiannya mampu menangani atau mengatasi disrupsi secara proaktif dan problem solving.

Pada era digital atau revolusi industri 4.0 yg juga menuju society 5.0 model pemolisian selain profesional cerdas bermoral dan modern adalah dapat fungsional atau smart, namun tetap memberikan jaminan dan perlindungan HAM.

Polisi dalam pemolisiannya dapat memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas sebagai wujud dalam memberikan jaminan dan perlindungan ham.

Dalam konteks tersebut model smart policing memberikan ruang bagi penyandang disabilitas untuk dapat menjadi petugas polisi.

Smart policing merupakan model harmoni antara conventional policing, electronic policing dan forensic policing yang doharapkan mampu mengatasi berbagai masalah gangguan keteraturan sosial (Kamtibmas) yang konvensional, masalah masalah siber atau virtual di era digital juga masalah masalah forensik di era kenormalan baru.

Sejalan dengan pemikiran tersebut maka model smart policing diimplementasikan dapat diimplementasikan dengan model pendekatan wilayah, model fungsi, model dampak masalah untuk memberikan pelayanan kepolisian yang bersifat rutin, bersifat khusus maupun kontijensi. Yang berkaitan dengan pelayanan:

1. Keamanan

2. Keselamatan

3. Hukum

4. Administrasi

5. Informasi

6. Kemanusiaan

Smart policing dalam implementasinya secara conventional policing, e policing dan forensic policing konsepnya berbasis otak otot dan hatinurani (menurut Prof Satjipto Rahardjo O2H) yang ditunjukkan sbb:

1. Conventional policing

Pendekatan ala polisi konvensional yang manual tradisional, kompetensi petugas  pelindung pengayom yang dilakukan dengan mengandalkan fisik, crime fighter, law inforcement, reactive policing seperti cara pengaturan, penjagaan, patroli, penanganan TKP (tempat kejadian perkara), penanganan kejahatan dari pemeriksaan penggeledahan penangkapan penyitaan hingga pengejaran secara fisik konvensional yang memerlukan kompetensi dasar untuk pengetahuan maupun ketrampilannya. Penanganan berbagai masalah dengan reaksi cepat, penangan konflik sosial yang melibatkan massa besar, demonstrasi dan konflik lapangan, premanisme jalanan maupun blue collar crime, perkelahian antar warga/ perang kampung, kecelakaan lalu lintas hingga bencana alam. Penanganan secara reaktif dan cara cara fisik masih diperlukan dan dibutuhkan dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial. Kemampuan pemetaan masalah, pemetaan wilayah, pemetaan potensi, bela diri, menembak, kemampuan dasar kepolisian untuk menjaga mengatur serta patroli. Mendatangi dan menangani TKP, menerima laporan dan pengaduan dsb. Penanganan pelayanan kepolisianyg berkaitan pelayanan administrasi, pelayanan hukum, pelayanan keamanan, pelayanan keselamatan, pelayanan informasi dan pelayanan kemanusiaan tetap memerlukan pengetahuan2 dan kompetensi conventional policing.

 

2. Electronic Policing (e-policing)

Pemolisian secara elektronik merupakan pemolisian yang saling terhubung atau on line yang mampu memberikan pelayanan secara virtual dan mampu mendukung pemolisian yang konvensional. Landasan dasar E policing adalah melalui back office ( sebagai operation room atau pusat k3i ( komunikasi, koordinasi, komando pemgendalian dan informasi) sebagai big data system. Yang di dukung aplication berbasis Artificial intellegence ( AI) juga networking yang berbasis internet of things (IoT). Aplikasi berbasis AI diharapkan mampu berfungsi untuk merecognize atau inputing data baik orang, benda, kendaraan, lingkungan hingga aktifititas. Melalui AI dpt dikonstruksi menjadi model untuk dapat menghasilkan algoritma yang berupa info grafis, info statistik, maupun info virtual lainnya. Algoritma tersebut berfungsi sebagai prediksi, antisipasi maupun solusi yang dapat diakses secara real time, any time dan on time. Algoritma menjadi landasan atau acuan indeks atau setidaknya sebagai potret visual atas situasi dan kondisi keteraturan sosial. Kompetensi dan pengetahuan bagi petugas siber (cyber cops) yang mengawaki e policing adalah kemampuan memahami data digital inputing dan analisanya untuk menghasilkan algoritma. Memahami prinsip dasar  era digital dan sistem IT dan proses pembangunan big data yang terintegrasi dalam one stop service system. Sistem analisa dan algoritma merupakan bagian early warning dan problem solving yang prediktive antisipative serta solutive. Petugas cyber cops akan mengimplementasikan smart management maupum smart operation agar pemolisian secara aktual maupun virtual ada suatu sistem yang sejalan saling menguatkan atau saling mendukung. Permasalahan perbankan, permasalahan keuangan, korupsi, terorisme, penyelundupan, pembajakkan, bahkan cyber crime, dsb, akan terus berkembang polisi siber yang profesional mampu menganalisa dan menemukan potensi kejahatan dan melakukan upaya upaya pencegahan kejahatan. Kejahatan white collar crime tentu dilakukan secara teroganisir dan dilakukan para ahli atau setidaknya orang yang memiliki kompetensi. Dengan demikian cyber security menjadi sangat penting dan memdasar.

 

3. Forensik Policing

Di era disrupsi perkembangan masalah nuklir biolgi maupun kimia bahkan fisika (nubika), masalah sosialpun dapat di rancang menjadi suatu masalah sosial yang menghambat, merusak bahkan matikan hidup dan kehidupan masyarakat. Era post truth melalui media akan dijadikan senjata melalui hoax yang digunakan untuk mengobok obok opini publik yang kontra produktif. Forensik policing memerlukan kompetensi dan pengetahuan dasar tentang nubika maupun sosial budaya. Dampak atas penyalahgunaan nubika atau pemanfaatan nubika maupun penyalahgunaan sosial budaya oleh kaum penjahat dapatmenteror secara masaal dan berdampak luas yang dpat menggerus kehidupan berbangsa dan bernegara. Kompetensi para petugas forensic policing secara mendasar berkaitan dengan teoritikal, konseptual dan teknik forensik bahkan mampu mengetahui pemanfaatan nubika maupun masalah sosial yang mendukung petugas polisi dalam pemolisian siber maupun pemolisian yang konvensional. Pelayanan secara forensik dapat dikembangkan pada pengamanan pada sector : private, industrial, public, ecological maupun cyber.

 

Dalam smart policing dukungan penelitian dan pengembangan serta pembangunan laboratorium mjd sangat penting dan mendasar. Penelitian merupakan bagian penting mendukung smart policing konseptual maupun teoritikal dengan berbagai pendekatan. Model smart policing dapat dibangun dan terus ditumbuhkembangkan secara: teoritikal, konseptual, fisik,  kompetensi, scientific, secara infrastruktur dan sistem pendukungnya juga kurikulum dan pengajarannya.

 

Para penyandang disabilitas dengan berbagai kompetensi yang dimilikinya dapat menjadi petugas kepolisian pada bidang bidang Electronic policing maupun forensic policing. (Chrysnanda Dwilaksana)

 

KM429 Ungaran230124

Share