Kondisi Memburuk, Makin Kuat Seruan PBB bagi Gencatan Senjata di Gaza
TRANSINDONESIA.co | Para pejabat PBB mengatakan warga Palestina di Gaza berada dalam keadaan putus asa setelah hampir tiga bulan dibombardir oleh serangan militer Israel dan dibiarkan tanpa persediaan makanan, air, dan obat-obatan yang cukup.
“Tingkat keputusasaan masyarakat sangat jelas dan terasa. Ini adalah situasi keputusasaan yang dapat Anda rasakan, yang benar-benar dapat Anda sentuh dengan tangan Anda,” kata Andrea De Domenico, kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) di wilayah pendudukan Palestina.
Berbicara dari Yerusalem kepada wartawan di Jenewa pada hari Jumat (12/1), De Domenico mengatakan ratusan ribu warga Palestina berdesakan di ruang yang semakin kecil dan terpaksa mendirikan tempat penampungan sementara dalam kondisi yang penuh sesak, tidak sehat, tanpa toilet atau fasilitas dasar lainnya.
“Tidak ada pelayanan publik. Kurangnya tempat berlindung, kekurangan air, kekurangan makanan, dan kurangnya kesehatan. … Tekanan yang tinggi ini semakin berubah menjadi meningkatnya ketegangan, sementara PBB dan komunitas kemanusiaan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasar mereka,” ungkapnya.
“[Warga Palestina yang putus asa di Gaza] sejauh ini tidak agresif, namun ketegangan ini akan meningkat jika kita tidak meningkatkan operasi kita,” lanjutnya, sambil mencatat bahwa ketika truk pasokan melintasi perbatasan ke Gaza, warga Palestina akan mendatangi truk tersebut, mengucapkan terima kasih atas kehadiran (bantuan) PBB dan kemudian “mengambil apa pun yang mereka bisa agar mereka dan keluarga mereka dapat bertahan hidup.”
Perwakilan OCHA mengatakan bahwa para petugas mereka di lapangan melaporkan bahwa “wajah orang-orang yang datang ke truk (bantuan)… jelas-jelas adalah wajah orang-orang yang kelaparan.”
Minggu ini akan menandai 100 hari sejak Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya melancarkan serangan terhadap Israel, yang menewaskan 1.200 orang, sebagian besar warga Israel, dan sekitar 250 sandera, di antaranya dua anak-anak.
Serangan brutal tersebut memicu respons ganas dari militer Israel, yang dilaporkan mengakibatkan kematian lebih dari 23.000 warga Palestina, sekitar dua pertiganya adalah perempuan dan anak-anak, dan kehancuran besar-besaran infrastruktur sipil, termasuk rumah, rumah sakit, sekolah dan tempat ibadah.
“Seperti yang telah berulang kali didesak oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UNHRC) Volker Turk, harus ada gencatan senjata segera atas dasar hak asasi manusia dan kemanusiaan,” tandas juru bicara UNHRC, Liz Throssell.
Hal yang lebih mendesak dari sebelumnya adalah adanya “gencatan senjata untuk mengakhiri penderitaan dan korban jiwa yang mengerikan, dan untuk memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan secara cepat dan efektif kepada masyarakat yang menghadapi tingkat kelaparan dan penyakit yang mengejutkan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) “harus mengambil tindakan segera untuk melindungi warga sipil sepenuhnya sejalan dengan kewajiban Israel berdasarkan hukum internasional.”
Anak-anak Palestina yang terluka dalam serangan Israel dirawat di sebuah rumah sakit di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Jumat 12 Januari 2024.
Anak-anak Palestina yang terluka dalam serangan Israel dirawat di sebuah rumah sakit di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Jumat 12 Januari 2024.
Dana Anak-anak PBB (UNICEF) juga menyerukan gencatan senjata segera dan jangka panjang, dengan menekankan bahwa ini “adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri pembunuhan dan melukai anak-anak dan keluarga mereka dan memungkinkan pengiriman bantuan yang sangat dibutuhkan segera.
Berbicara dari Yerusalem, Lucia Elmi, perwakilan khusus UNICEF di wilayah Palestina, memperingatkan bahwa kondisi di Jalur Gaza – terutama anak-anak – terus memburuk dengan cepat.
“Anak-anak di Gaza kehabisan waktu, sementara sebagian besar bantuan kemanusiaan yang sangat mereka butuhkan masih terdampar di antara koridor akses yang tidak memadai dan pemeriksaan berlapis yang berlarut-larut,” ujarnya.
“Ribuan anak telah meninggal dan ribuan lainnya akan segera menyusul” jika masalah konflik, penyakit dan kekurangan gizi tidak segera diatasi, tambahnya.
Sebagai ilustrasi, ia mencatat bahwa dalam dua minggu terakhir, jumlah kasus diare pada anak balita meningkat hampir dua kali lipat dari 40.000 menjadi 70.000.
Konflik tersebut, seiring dengan meningkatnya beban akibat penyakit dan semakin parahnya malnutrisi, menyebabkan lebih dari 135.000 anak berisiko mengalami malnutrisi akut yang parah.
“Kombinasi dari ketiga masalah ini ditambah kurangnya air dan sanitasi dalam kaitannya dengan malnutrisi, merupakan salah satu kekhawatiran utama (warga di Gaza) saat ini,” ungkapnya. [voa]